TAFSIR IBADAH
TAYAMUM
Disusun
Oleh
Kelompok
3 :
Dosen
Pembimbing
Badrun Taman
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS
EKONOMI
DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BENGKULU
2016
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah
ini adalah tugas Mata
Kuliah Tafsir Ibadah oleh Bapak Badrun Taman. Oleh karena itu , ini sangat bermutu sebagai pemula seperti kami untuk mengetahui
tentang “TAYAMUM”. Pada kesempatan ini, kami
tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu serta memberikan dukungan kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini, tidak akan terselesaikan tanpa adanya bantuan, bimbingan serta pengarahan
dari berbagai pihak.
Dengan demikian
makalah ini kami
buat, tentunya besar harapan kami bahwa
makalah ini dapat bermanfaat bagi kalangan
akademika khususnya kita seperjuangan. Namun, tidak menutup
kemungkinan makalah ini masih jauh dari kesempunaan. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan, demi perbaikan dimasa yang akan
datang. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.
Bengkulu, Maret 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................................. i
Daftar Isi............................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................... 1
C. Tujuan...................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Tayamum............................................................................................... 2
B. Syarat dan Rukun Tayamum................................................................................... 3
C. Surat An-Nisa ayat 43............................................................................................. 3
D. Surat Al-Maidah ayat 6........................................................................................... 9
E. Tata Cara Bertayamum............................................................................................ 13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................................................. 14
B. Saran........................................................................................................................ 14
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam setiap dimensi kehidupan manusia, hidup bersih sudah merupakan
kebutuhan hidup. Apalagi bagi umat islam yang memang ada syari’at yang
mewajibkan umatnya untuk hidup bersih. Lebih dari itu, kaum muslimin
diperintahkan untuk mensucikan raganya dari hadats besar dan kecil pada
saat-saat tertentu, terutama ketika mereka hendak menghadap Rabbnya dalam
shalat. Yang dalam istilah fiqihnya disebut “Thaharah (bersuci)”.
Ketika kita tidak bisa bersuci dari hadats dengan berwudhu atau mandi
karena sebab/keadaan darurat, maka kita masih dapat untuk menghilangkan hadats dengan cara
tayamum. Tayamum ini adalah bentuk kecintaan Allah kepada umat Islam dengan
memberikan keringanan (rukhsah) dalam beribadah menurut kemampuan
masing-masing.
Semua rukhsah itu tidak bisa dilakukan jika kita tidak mengetahui syarat,
rukun dan tata cara bertayamum. Untuk itu kami susun makalah ini yang memuat di
dalamnya tentang hal-hal yang berkaitan dengan thaharah dalam keadaan darurat,
dalam hal ini ialah tayamum.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tayamum ?
2. Apa syarat dan rukun tayamum ?
3. Bagaimana tafsir surat An-Nisa ayat 43 ?
4. Bagaimana tafsir surat Al-Maidah ayat 6 ?
5. Bagaimana cara bertayamum ?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian tayamum.
2. Untuk mengetahui syarat dan rukun tayamum.
3. Untuk mengetahui tafsir surat An-Nisa ayat 43.
4. Untuk mengetahui tafsir surat Al-Maidah ayat
6.
5. Untuk mengetahui cara bertayamum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Tayamum
Di dalam buku fiqih, perkataan tayamum menurut
bahasa berarti menuju, sedang menurut syara’ ialah mempergunakan tanah yang
bersih guna menyapu muka dan tangan untuk mengangkat hadast menurut cara yang
telah ditentukan oleh syara’. Pada suatu ketika, tayamum dapat menggantikan
wudlu’ dan mandi janabah dengan syarat-syarat tertentu. Tayamum adalah suatu rukshah
untuk umat Nabi Muhammad Saw. Orang yang diperbolehkan bertayamum ialah:
1. Orang yang sedang sakit, bila terkena air
bagian anggota wudlu’nya akan bertambah sakitnya menurut keterangan dokter.
2. Karena dalam perjalanan dan sangat sulit untuk
mendapatkan air.
3. Karena tidak ada air. [1]
Di dalam buku hadis, tayamum menurut bahasa
artinya tujuan atau maksud. Sedangkan menurut istilah syariat ialah mengusap
wajah dan kedua tangan (hingga batas siku) dengan tanah yang suci, sekalipun
orang yang bersangkutan berhadas besar. Hal ini merupakan rukhshah (kemurahan
dari Allah) untuk umat Nabi Muhammad Saw. Tayammum (disyaratkan) memakai tanah
karena tanah merupakan cabang dari air dan berasal dari buih air. Tayamum
menurut sebagian Imam sama dengan wudhu, dalam arti kata bahwa orang yang
bersangkutan dapat menggunakan tayamumnya itu untuk beberapa kali shalat fardhu
dan sunat. Sedangkan menurut jumhur ulama, tayamum hanya dipakai untuk sekali
shalat fardhu dan beberapa kali shalat sunat. Setelah itu selesailah masa
sucinya, karena tayamum hanyalah berlaku dalam keadaan darurat.[2]
Jadi, tayamum adalah pengganti wudlu’ dan mandi janabah ketika seseorang dalam keadaan udzur (halangan),
baik seperti sedang sakit, sedang dalam perjalanan ataupun tidak adanya air
ketika hendak berwudlu’ atau mandi janabah. Bertayamum disyaratkan menggunakan
tanah yang baik (suci). Tayamum diperbolehkan apabila terpenuhinya
syarat-syarat tayamum.
B.
Syarat dan Rukun Tayamum
Syarat-syarat tayamum, diantaranya ialah :
1. Sudah masuk
waktu shalat. Tayamum disyariatkan untuk orang yang terpaksa. Sebelum masuk waktu
shalat ia belum terpaksa, sebab shalat belum wajib atasnya ketika itu.
2. Sudah diusahan
mencari air, tetapi tidak dapat, sedangkan waktu sudah masuk. Kita disuruh bertayamum bila tidak ada air
sesudah dicari dan kita yakin tidak ada, kecuali orang sakit yang tidak
diperbolehkan memakai air atau ia yakin tidak ada air di sekitar tempat itu,
maka mencari air tidak menjadi syarat baginya.
3. Dengan tanah
yang suci dan berdebu
4. Menghilangkan
najis. Sebelum
melakukan tayamum itu hendaklah ia bersih dari najis, menurut pendapat sebagian
ulama, tetapi menurut pendapat yang lain tidak.[3]
Adapun rukun tayamum adalah sebagai berikut :
1. Niat; menyengaja melakukan tayamum untuk
mengangkat hadas dengan keperluan untuk melakukan shalat fardhu, sunat dan
perkara-perkara yang suci.
2. Mengusap muka dan dua tangan dengan debu yang
bersih sampai siku
3. Meratakan debu yang bersih pada
anggota-anggota yang harus ditayamumkan
4. Tertib, beurutan mengusapnya.
C.
Surat An-Nisa ayat 43
1.
Ayat dan terjemahan
ياَيُّهَاالَّذِيْنَ امَنُوْالَا تَقْرَبُواالصَّلوةَوَاَنْتُمْ سُكَارى حَتّى
تَعْلَمُوْامَاتَقُوْلُوْنَ وَلَاجُنُبًااِلَّاعَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّى
تَغْتَسِلُوْاۗوَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضى اَوْعَلى
سَفَرٍاَوْجَآءَ اَحَدٌمِّنْكُمْ مِّنَ الْغَآئِطِ اَوْ لمَسْتُمُ
النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوْامَآءًفَتَيَمَّمُوْاصَعِيْدًاطَيِّبًا فَامْسَحُوْا
بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِ يْكُمْۗاِنَّ اللهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْرًا . ٤٣
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian shalat, sedang kalian dalam Keadaan mabuk, sehingga kalian
mengerti apa yang kalian ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kalian
dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja, hingga kalian mandi. Dan
jika kalian sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air
atau kalian telah menyentuh perempuan, kemudian kalian tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik (suci); sapulah muka dan tangan
kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”.
2. Kosakata
لمَسْتُمْ Lāmastum
Kata Lāmastum berasal dari Lāmasa
yang berarti “menyentuh dengan permukaan kulit”. Dalam Firman Allah mengenai
siapa yang dibolehkan bertayamum bila tidak terdapat air, yaitu orang yang
menyentuh kulit (Lāmasa) perempuan. Berarti bagi pendapat ini
bersentuhan dengan perempuan membatalkan wudlu. Ada pula ulama yang berpendapat
bahwa kata Lāmasa, berarti “sentuh-menyentuh” yaitu melakukan hubungan
suami istri. Bagi pendapat ini, bersentuhan saja dengan perempuan tidak
membatalkan wudlu.
3. Munasabah
Dalam ayat-ayat yang lalu, telah diterangkan
keadaan manusia dalam menghadapi kesukaran pada hari kiamat, pada hari itu amal
yang dilakukan di dunia diperlihatkan dan mereka tidak dapat lagi
menutup-nutupi kesalahan. Sehingga mereka pada waktu itu mengharapkan dirinya
musnah menjadi tanah saja. Pada waktu itu jelas bahwa seseorang tidak akan
selamat kecuali bila ia suci lahir batin, beriman kepada Allah dan taat kepada
Rasul-Nya. Dalam ayat ini diterangkan bagaimana seharusnya orang melaksanakan
shalat, agar ia benar-benar suci lahir batin sehingga sempurna persiapannya
untuk menghadap Tuhannya.[4]
4. Asbabun Nuzul
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Abu Saleh, Ibnu
Syihab mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Ubaidillah ibnu Abdullah,
dari Ibnu Abbas, dari Ammar ibnu Yasir, bahwa Rasulullah Saw. turun istirahat
di malam hari di Zatul Jaisy; saat itu Rasulullah Saw. ditemani oleh Siti
Aisyah. Lalu kalung
yang dipakai Siti Aisyah terbuat dari untaian kuku binatang putus dan terjatuh.
Maka orang-orang (yang bersama Rasulullah Saw.) berhenti mencari kalungnya yang
hilang, hingga fajar subuh terbit, sedangkan orang-orang tidak mempunyai bekal
air. Maka Allah menurunkan kepada Rasul-Nya wahyu yang berisikan keringanan
bersuci memakai debu yang suci (tayamum), sebagai tuntunan tayamum bagi yang sedang
dalam perjalanan bila tidak mendapatkan air.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Gassan Malik ibnu
Ismail, telah menceritakan kepada kami Qais ibnu Hafs, dari Mujtahid. Ayat ini
diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki dari kalangan Ansar yang sedang
sakit, karenanya ia tidak dapat bangkit untuk melakukan wudlu, dan ia tidak
mempunyai seorang pembantu pun yang menyediakan air wudlu untuknya. Lalu, ia
menanyakan masalah tersebut kepada Nabi Saw. Maka Allah menurunkan ayat ini,
sebagai tuntunan tayamum bagi yang sakit tidak mampu berwudlu’.[5]
5. Tafsir
Allah Swt. Melarang orang-orang mukmin
mengerjakan shalat pada waktu mereka sedang mabuk. Mereka tidak dibolehkan
shalat sehingga mereka menyadari apa yang dibaca dan apa yang dilakukan dalam
shalat. Karena pada waktu keadaan mabuk itu tidak memungkinkan beribadat dengan
khusyuk.
Lazimnya meskipun shalat dapat dilakukan
dimana saja, shalat itu sebaiknya dilakukan di masjid. Maka orang yang sedang
junub dilarang shalat, juga dilarang berada di masjid kecuali sekedar lewat
saja karena ada keperluan. Dalam hal ini ada riwayat yang menerangkan bahwa
seorang sahabat Nabi dari golongan Ansar, pintu rumahnya di pinggir masjid.
Pada waktu junub, ia tidak dapat keluar rumah kecuali melewati masjid, maka ia
dibolehkan oleh Rasulullah Saw. melewatinya dan tidak memerintahkan menutup
pintu rumahnya yang ada di pinggir masjid itu.
Orang yang akan mengerjakan shalat harus suci
dari hadas kecil, yaitu hadas yang timbul oleh misalnya karena buang air kecil
atau suci dari hadas besar sesudah bersetubuh. Larangan ini akan berakhir
setelah ia wudhu atau mandi janabah, karena mandi akan membersihkan lahir dan
batin. [6]
Firman Allah Swt.
:
وَاِنْ
كُنْتُمْ مَّرْضى اَوْعَلى سَفَرٍا
“Dan jika kalian sakit atau sedang dalam musafir”
(An-Nisa: 43)
Adapun mengenai sakit yang membolehkan
seseorang bertayamum adalah sakit yang mengkhawatirkan akan matinya salah satu
anggota tubuh, atau sakit bertambah parah atau sembuhnya bertambah lama jika
menggunakan air. Tetapi ada ulama yang membolehkan bertayamum hanya karena
alasan sakit saja, berdasarkan keumuman makna ayat. Mengenai safar atau bepergian, tidak ada bedanya antara jarak yang
jauh dan jarak yang dekat.
Firman Allah Swt.
اَوْجَآءَ اَحَدٌمِّنْكُمْ مِّنَ الْغَآئِطِ
“atau seseorang diantara kalian datang dari
tempat buang air” (An-Nisa: 43)
Yang dimaksud
dengan al-gait ialah tempat yang tenang, kemudian dipinjam untuk
menunjukkan pengertian tempat buang air.
Adapun mengenai firman-Nya :
اَوْلمَسْتُمُ النِّسَآءَ
"atau kalian telah menyentuh perempuan”
(An-Nisa: 43)
Kata lamastum.
Ada yang membacanya lamastum, dan ada pula yang membacanya lāmastum. Ulama
tafsir dan para imam berbeda pendapat mengenai maknanya.
Pertama mengatakan bahwa hal tersebut adalah kata kinayah (sindiran) mengenai
persetubuhan. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Humaid ibnu
Mas’adah, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai", telah menceritakan
kepada kami Syu'bah, dari Abu Bisyr, dari Sa'id ibnu Jubair yang menceritakan
bahwa mereka membicarakan masalah al-lams, maka sebagian orang dari kalangan bekas-bekas budak mengatakan bahwa
yang dimaksud adalah bukan persetubuhan (tetapi persentuhan). Sejumlah orang dari kalangan orang-orang Arab
mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah persetubuhan.
Selanjurnya Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdur
Rahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Mukhariq, dari Tariq, dari
Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa al-lams ialah melakukan
kontak tubuh dengan perempuan selain persetubuhan.
Imam Tabrani meriwayatkan berikut sanadnya,
dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa seorang lelaki diharuskan
berwudlu karena melakukan persentuhan dengan perempuan, memegangnya dengan tangan,
juga menciumnya. Pendapat yang mengatakan wajib wudlu karena menyentuh
perempuan adalah pendapat Imam Syafii dan semua sahabatnya serta Imam Malik.
Kemudian
Allah Swt. berfirman :
فَلَمْ
تَجِدُوْامَآءًفَتَيَمَّمُوْاصَعِيْدًاطَيِّبًا
"kemudian kalian tidak mendapat air, maka bertayamumlah
kalian dengan tanah yang baik (suci)” (An-Nisa: 43)
Kebanyakan ulama fiqih menyimpulkan hukum ayat
ini, bahwa seseorang yang tidak menemukan air tidak boleh bertayamum kecuali
setelah berupaya terlebih dahulu mencari air. Bilamana ia telah berupaya mencari
air dan tidak menemukannya juga, barulah ia boleh melakukan tayamum. Istilah tayamum
menurut bahasa artinya bertujuan. Orang-orang Arab mengatakan, "Tayammamakallahu
bihifzihi" artinya semoga Allah berkenan memelihara dirimu, yakni
bertujuan untuk melindungimu.[7]
Tersebut dalam kamus: Sha’id artinya
ialah tanah atau permukaan bumi. Berkata as-Tsa’labi di dalam Fiqhul Lugrah: Shaid
ialah tanah permukaan bumi. Tersebut di dalam kamus Mishbahul Munir: Sha’id
ialah muka bumi, baik tanah atau lainnya. Berkata az-Zajjaj: menurut
pengetahuan saya, tidaklah ada selisih ahli bahasa Arab tentang arti ini.
Thayyiban artinya baik, atau bersih. Lantaran itu jelaslah bahwa
sekalian tanah permukaan bumi asal bersih, bolehlah dipakai tayamum. Sedang
tanah hanya dua, bersih atau kotor. Yang kotor ialah yang terang dan nampak
kotornya, misalnya di sana ada tahi orang atau binatang. Maka, kalau tidak
nampak kotornya, pastilah dia bersih. Sebab itu segala tanah muka bumi bolehlah
untuk tayammum. Ini dikuatkan oleh beberapa Hadis di antaranya hadis riwayat
Bukhari dan Muslim dan an-Nasa’i:
وَخُعِلَتْ
لِيَ الْأَرْضُ طَيِّبَةً وَطَهُوْرًا وَمَسْجِدًا
“Dan
telah dijadikan untukku bumi itu bersih, suci dan tempat sujud”.
Bertambah jelas lagi keringanan ini karena
menurut riwayat Bukhari dan Muslim, pernah Rasulullah bertayamum dengan
menggosokan kedua belah telapak tangannya ke dinding, mengambil debunya jadi tayamum.
Dalam Firman Allah Swt. :
فَامْسَحُوْا
بِوُجُوْ هِكُمْ وَاَيْدِ يْكُمْۗاِنَّ اللهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْرًا
“Sapulah muka kalian dan tangan
kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun” (An-Nisa: 43)
Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim dari Ammar bin Yasir mengatakan: “pada suatu hari datanglah dua orang
kepada Umar bin Khathab r.a. yang seorang lalu bertanya: “Saya telah junub,
tetapi air tidak ada”, maka berkata Umar: “Jangan engkau sembahyang!” mendengar
jawab Saiyidina Umar yang demikian itu berkatalah Ammar: “Tidaklah engkau teringat,
ya Amiral Mu’minin, seketika aku dan engkau turut dalam satu peperangan, kita
sama-sama jinabat, maka kitapun tidak mendapat air. Adapun engkau sendiri,
tidaklah engkau sembahyang. Maka berkatalah Rasulullah Saw. “hanyasanya
cukuplah buat engkau, jika engkau pukul bumi dengan tangan engkau, kemudian
engkau hembus, kemudian itu engkau sapu dengan dia muka dan telapak tangan
engkau”.
Maka sahlah cara yang demikian untuk mengganti
mandi junub dan wudlu bila tidak ada air, walaupun tidak dalam perjalanan. Atau
karena dalam perjalanan atau karena sakit. Suatu luka yang berbahaya jika kena
airpun boleh bertayammum. Dimaafkan kesukaran kita mencari air atau kesulitan
mencarinya, dibukakan pintu untuk tayammum. Diberi pula ampun jika terdapat
kekurangan, karena bukan disengaja.
Demikian rukhshah yang diberikan Ilahi,
tanda kasih-Nya kepada hamba-Nya yang selalu ingin berhubungan dengan Dia.
Sehingga sehabis sembahyang dengan tayamum itu, tiba-tiba bertemu air, sedang
waktu masih panjang, tidaklah wajib mengulangi sembahyang kembali. Sebab tempat
wudlu telah digantikan penuh oleh tayamum, kemuliaan tanah pada waktunya telah
menggantikan kemuliaan air.[8]
6.
Kesimpulan
Di dalam ayat ini terkandung makna yang menunjukkan bahwa
demi membersihkan shalat, tidak boleh mengerjakannya dengan keadaan yang tidak
baik, misalnya dalam keadaan mabuk, hingga seseorang mengerti dan memahami apa
yang diucapkannya. Tidak boleh pula mengerjakannya dalam keadaan mempunyai
jinabah, hingga mandi; atau berhadas, hingga berwudu; kecuali jika orang yang
bersangkutan dalam keadaan sakit, sedang dalam perjalanan atau tidak
mendapatkan air, maka Allah memberikan keringanan dengan membolehkan tayamum
sebagai rahmat dari Allah untuk hamba-hamba-Nya, kasih sayang Allah kepada
mereka, dan kemurahan bagi mereka.
D. Surat Al-Maidah
ayat 6
1. Ayat dan
terjemahan
يايُّهَاالَّذِيْنَ
امَنُوْا إِذَاقُمْتُمْ إِلَى الصَّلوةِ فَاغْسِلُوْاوُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِ يَكُمْ
اِلَى الْمَرَا فِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُ وْسِكُمْ وَاَرْخُلَكُمْ اِلَى
الْكَعْبَيْنِۗوَاِنْكُمْتُمْ
جُنُبًافَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْكُنْتُمْ مَّرْضى اَوْعَلى
سَفَرٍاَوْجَآءَاَحَدٌمِّنْكُمْ مِّنَ الْغَآئِطِ اَوْلمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ
تَجِدُوْامَآءًفَتَيَمَّمُوْاصَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِ يْكُمْ مِّنْهُۗ مَايُرِيْدُاللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ
مِّنْحَرَجٍوَّلكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَه عَلَيْكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُنَ . ٦
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub
maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari
tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh
air, Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia
hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu
bersyukur”.
2.
Kosakata
Al-Gāit اَلْغَائِطْ
Al-Gāit diartikan dengan “tempat buang air besar”. Pada
mulanya kata ini berarti tempat yang rendah, sebab orang Arab jika akan buang
air besar mereka mencari tempat yang rendah agar tidak dilihat orang. Lalu
mereka menamakan pekerjaan buang air besar dengan nama tempat dimana pekerjaan
itu dilakukan. Ungkapan al-gaut, al-gāt, al-gautah berarti “tanah
rendah”. Al-gut artinya “kedalaman”.
3. Munasabah
Pada ayat yang lalu dijelaskan tentang janji rububiyyah,
yaitu pemberian nikmat karunia-Nya kepada hamba-Nya antara lain menghalalkan
beberapa jenis makanan dan membolehkan menikahi perempuan-perempuan Ahli Kitab,
maka ayat ini menerangkan janji ‘ubudiyyah yaitu janji prasetia seorang
hamba yang harus dilaksanakan oleh hamba-Nya. Janji itu berupa kewajiban
bersuci sebelum melaksanakan ibadah. Oleh karena kebersihan adalah syarat utama
dalam melaksanakan ibadah seperti shalat dan sebagainya. Maka untuk kebersihan
itu diterangkan tentang wudu, mandi dan tayamum.[9]
4. Asbabun Nuzul
Siti Aisyah r.a. telah menceritakan hadis berikut:
“Kami keluar bersama dengan Rasulullah Saw. dalam salah satu perjalanannya,
ketika kami sampai di Baida atau Dzatul Jaisy, kalung milikku terputus (jatuh
dan hilang). Maka Rasulullah Saw. berhenti untuk mencarinya dan orang-orang pun
berhenti pula bersamanya, padahal mereka berhenti pada tempat yang tidak ada
air sama sekali, dan mereka pun tidak membawa air. Lalu sebagian orang
mendatangi sahabat Abu Bakar seraya mengatakan, "Tidakkah engkau melihat
apa yang dilakukan oleh Siti Aisyah? Ia telah membuat Rasulullah Saw. dan
orang-orang yang bersamanya menghentikan perjalanannya, padahal mereka berada
di tempat yang tidak mengandung air dan mereka pun tidak membawa air.” Kemudian
sahabat Abu Bakar datang, sedangkan Rasulullah Saw. tertidur meletakkan
kepalanya di pahaku. Sahabat Abu Bakar berkata, "Engkau telah menahan
Rasulullah Saw. dan orang-orang, padahal mereka berada pada tempat yang tidak
mengandung air dan mereka pun tidak membawa air”. Siti Aisyah r.a. melanjutkan
ceritanya, lalu sahabat Abu bakar mencelaku dan mengatakan hal-hal yang
dikehendaki oleh Allah untuk dikatakan, lalu ia memukul dengan telapak
tangannya pada pinggangku. Aku tidak berani bergerak karena karena mengingat Rasulullah
Saw. berada di atas pahaku (yang sedang tertidur). Rasulullah Saw. tidur hingga
subuh tanpa mendapatkan air. Kemudian Allah Swt. menurunkan ayat tayammum,
yaitu: “Maka bertayammumlah kalian dengan tanah yang baik (suci)”. (QS
Al-maidah: 6). Usaid bin Hudhair salah
seorang Nuqaba’ mengatakan, "Hal ini bukanlah keberkahan kalian yang
satu-satunya wahai keluarga Abu Bakar”. Siti Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, "Lalu
kami mengutus ke tempat unta di mana kami berhenti, maka kami menemukan kalung
tersebut berada di bawahnya”. (Riwayat Khamsah kecuali Imam Turmudzi).[10]
5. Tafsir
Ayat ini menjelaskan tentang kewajiban berwudhu sebelum
mengerjakan shalat. Basuhlah mukamu dengan air yang bersih, tanganmu sampai
dengan siku, dan sapulah kepalamu dengan air (tidak usah dibasuh) dan basuhlah
kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Dengan demikian teranglah bahwasanya akan
memulai shalat tidaklah sah kalau terlebih dahulu tidak melakukan wudhu itu,
yang mulanya diawali dengan memasang niat akan menghadap Allah dengan hati yang
suci dan bersih, tulus dan ikhlas. Dalam Firman Allah Swt. :
وَاِنْكُمْتُمْ
جُنُبًافَاطَّهَّرُوْا
Artinya: “dan jika kamu junub maka mandilah”
(Al-Maidah: 6)
Junub ialah
keadaan sesudah bersetubuh atau keluar mani karena yang lain, misalnya mimpi.
Ketika kamu dalam keadaan junub itu, kamu dalam keadaan tidak bersih atau tidak
suci, maka belumlah sah shalat kamu jika hanya dengan berwudhu saja. Melainkan,
hendaklah kamu bersuci dengan memandikan seluruh badanmu. Selanjutnya Allah
berfirman :
وَاِنْكُنْتُمْ مَّرْضى اَوْعَلى سَفَرٍاَوْجَآءَاَحَدٌمِّنْكُمْ مِّنَ
الْغَآئِطِ اَوْلمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوْامَآ
ءًفَتَيَمَّمُوْاصَعِيْدًاطَيِّبًا
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih)” (Al-Maidah:
6)
Maksud dari potongan ayat ini ialah:
“Dan jika kamu sakit”, entah karena demam sehingga tidak dapat menyinggung air,
atau karena luka yang tidak boleh kena air, atau karena sakit engkau susah
mencari air. “Atau dalam perjalanan”, yang dinamai musafir, meninggalkan
rumahtangga pergi keluar karena suatu urusan. “Atau kembali dari tempat buang
air (kakus)”, artinya habis buang air, baik buang air besar atau buang air
kecil. “Atau menyentuh perempuan”, bahasa yang dipakai di dalam ayat disebutkan
Laamastum yang berarti menyentuh.
Diriwayatkan
bahwa Ibnu Mas’ud dan ibnu Umar dari sahabat Rasulullah dan az-Zuhri dari
Tabi’in, menyatakan batal wudlu’ karena bersentuh kulit laki-laki dan
perempuan. Begitu pula pendapat Imam Syafi’i. Tetapi ada riwayat bahwa Ali dan
Ibnu Abbas dari sahabat, dan Thawus dan ‘Atha dari Tabi’in berpendapat tidak
batal kalau hanya bersentuh kulit saja. Inilah mazhab Imam Hanafi dan Mazhab
Ahlul-Bait. Sedangkan yang setengahnya lagi menyatakan hanya batal wudlu’ kalau
persentuhan itu dengan syahwat. Ayat selanjutnya “Lalu kamu tidak memperoleh air,
Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih)”, ini berarti tayamum adalah
ganti air, untuk wudlu’ dan mandi wajib.[11]
Kemudian, dalam firman Allah Swt. :
فَامْسَحُوْا بِوُجُوْ هِكُمْ وَاَيْدِ يْكُمْ مِّنْهُ
"sapulah muka kalian dan tangan kalian dengan
tanah (debu) itu. (Al-Maidah: 6)
Tayamum diharuskan memakai tanah yang suci dan
mengandung debu, hingga ada sebagian dari debu itu yang menempel pada muka dan kedua
tangan. Seperti yang disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Syafii
dengan sanad yang telah disebutkan di atas dari Ibnus Summah, bahwa ia pernah
bersua dengan Nabi Saw. yang sedang buang air kecil, lalu ia mengucapkan salam
kepadanya. Tetapi Nabi Saw. tidak menjawab salamnya, melainkan beliau langsung
menuju ke sebuah tembok dan mengeriknya dengan tongkat yang ada padanya. Setelah
itu beliau menempelkan telapak tangannya pada tembok itu, kemudian
mengusapkannya pada wajah dan kedua hastanya.
Firman Allah Swt. :
مَايُرِيْدُاللهُ
لِيَجْعَلَيْكُمْ مِّنْحَرَخٍ وَّلكِنْ يُّرِيْدُلِيُطَهِّرَكُمْ
"Allah tidak hendak menyulitkan kalian, tetapi
Dia hendak membersihkan kalian. (Al-Maidah: 6)
Yakni dalam masalah agama yang telah
disyariatkan-Nya buat kalian. Karena itulah maka Allah membolehkan tayamum bila
kalian tidak menemukan air, yaitu menggantinya dengan debu. Tayamum menipakan suatu
karunia bagi kalian, supaya kalian bersyukur. Untuk itulah maka disebutkan
bahwa di antara keistimewaan umat ini ialah disyariatkan-Nya tayamum bagi
mereka, sedangkan pada umat lain hal tersebut tidak disyariatkan.
Dalam hadis Huzaifah yang lalu yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan: Kita diberi keutamaan di atas
manusia karena tiga perkara, yaitu saf-saf kita dijadikan seperti
saf-saf para malaikat; bumi dijadikan bagi kita sebagai tempat salat dan
tanahnya suci lagi menyucikan jika kita tidak menemukan air. [12]
6. Kesimpulan
Wudlu’ adalah suatu syarat untuk sahnya shalat, yang
dikerjakan sebelum seseorang mengerjakan shalat. Setiap orang yang berhadas sebelum
mengerjakan shalat, wajib mengambil wudlu’ lebih dahulu dengan air yang suci
bersih. Kalau tidak ada air atau sulit mendapat air, atau tidak boleh menyentuh
air karena sakit, maka tayamum jadi pengganti wudlu’ dan pengganti mandi junub.
Dengan tayamum hadas besar dan hadas kecil jadi hilang, dan kita telah suci
untuk mengerjakan shalat. Perintah berwudlu’ dan tayamum bukanlah untuk
mempersulit kaum muslimin, tetapi untuk menuntun mereka mengetahui cara-cara
bersuci, dan untuk menyempurnakan nikmat-Nya agar kaum muslimin menjadi umat
yang bersyukur.
E.
Tata Cara Bertayamum
1. Membaca Bismillahirrahmanirrahim seraya
menekankan kedua telapak tangan di atas debu sehingga sebagian debu itu melekat
di kedua telapak tangan. Sambil niat:
نَوَيْتُ آلتَّيَمُّمَ لِاِسْتِبَاحَةِآلصَّلَاةِفَرْضًالِلّهِ
تَعَالى
“Aku niat bertayammum untuk mengerjakan shalat fardlu karena Allah Ta’ala”.
2. Setelah debu melekat kedua telapak tangan,
tiuplah perlahan-lahan agar debu menjadi tipis.
3. Setelah itu, debu tipis yang melekat di kedua
telapak tangan tersebut usaplah ke muka (wajah) dengan sekali usapan.
4. Selesai mengusap muka, lalu buanglah sisa-sisa
debu yang melekat di telapak tangan. Kemudian sekali lagi tekanlah kedua
telapak tangan di atas debu sehingga kedua telapak tangan kembali berdebu, lalu
tipiskan.
5. Selesai mengambil debu yang kedua, kemudian
debu tipis yang melekat di kedua telapak tangan itu usaplah dengan kedua tangan
hingga siku. Pertama, letakkanlah di belakang tangan kanan mulai dari ujung
jari di atas telapak tangan kiri, lalu usapkan telapak tangan kiri itu hingga
ke siku tangan kanan. Kemudian kembalikan dengan memindahkan posisi, yaitu
ujung jari tangan kiri dipindahkan di atas pergelangan tangan kanan.
6. Selesai mengusap tangan kanan, selanjutnya
bagian belakang ujung jari tangan kiri diletakkan di atas telapak tangan kanan
dan diteruskan di atas telapak tangan kanan dan diteruskan sebagaimana mengusap
tangan kanan.[13]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tayamum menurut bahasa berarti menuju, sedang
menurut syara’ ialah mempergunakan tanah yang bersih guna menyapu muka dan
tangan untuk mengangkat hadast menurut cara yang telah ditentukan oleh syara’.
Pada suatu ketika, tayamum dapat menggantikan wudlu’ dan mandi janabah dengan
syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tayamum, diantaranya ialah :
1. Sudah masuk
waktu shalat.
2. Sudah diusahan
mencari air, tetapi tidak dapat, sedangkan waktu sudah masuk.
3. Dengan tanah
yang suci dan berdebu
4. Menghilangkan
najis.
Adapun rukun
tayamum adalah sebagai berikut :
1. Niat
2. Mengusap muka dan dua tangan dengan debu yang
bersih sampai siku
3. Meratakan debu yang bersih pada
anggota-anggota yang harus ditayamumkan
4. Tertib, beurutan mengusapnya.
Maka sahlah
cara yang demikian untuk mengganti mandi junub dan wudlu bila tidak ada air,
walaupun tidak dalam perjalanan. Atau karena dalam perjalanan atau karena
sakit. Suatu luka yang berbahaya jika kena airpun boleh bertayammum. Dimaafkan
kesukaran kita mencari air atau kesulitan mencarinya, dibukakan pintu untuk
tayammum. Diberi pula ampun jika terdapat kekurangan, karena bukan disengaja.
Demikian rukhshah yang diberikan Ilahi, tanda kasih-Nya kepada hamba-Nya
yang selalu ingin berhubungan dengan Dia.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca terutama pada dosen mata kuiah ini, agar pembuatan
makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Atas kritik dan saranya, penulis
ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi. 2004. Tafsir Ibnu
Kasir Juz 5. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Hamka. Tafsir Al-Azhar Juz 5. Singapura:
Pustaka Nasional PTE LTD.
Kementerian Agama RI. 2011. Al-Qur’an dan
Tafsirnya. Jakarta: Widya Cahaya.
Moh. Rifa’i. 1978. Ilmu Fiqih Islam Lengkap.
Semarang: PT Karya Toha Putra.
NH. Rifa’i. Pintar Ibadah. Jombang:
Lintas Media.
Sulaiman. 1994. Fiqh Islam (hukum fiqh
Lengkap). Bandung: Sinar baru Algensindo.
Syekh Manshur Ali Nashif. 1993. Mahkota Pokok-Pokok hadis Rasulullah SAW
Jilid 1. Bandung: CV Sinar Baru.
[1]Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT Karya Toha Putra,
1978), hal. 70.
[2]Syekh Manshur Ali Nashif, Mahkota Pokok-Pokok hadis Rasulullah SAW Jilid
1, (Bandung: CV Sinar Baru, 1993), hal. 351.
[5] Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir Juz
5, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004),
hal. 176 & 199.
ConversionConversion EmoticonEmoticon