BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Sistem ekonomi syariah merupakan pewujudan dari paradigma islam.
Pengembangan ekonomi syariah dan siste ekonomi syariah bukan untuk menyaingi
sistem ekonom kapitalis dan sistem ekonomi sosialis, tetapi lebih ditujukan
untuk mewujudkan suatu sistem ekonomi
yang mempunyai kelebihan-kelebihan untuk menutupi kekurangan dari sistem
ekonomi yang telah ada.
Kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dengan masalah ekonomi yang mana
melibatkan hubungan antar manusia dengan manusia lainnya, hubungan itu harus
didasarkan pada norma – norma agama islam yang mengatur segala aspek kehidupan
termasuk yang berkaitan dengan masalah mu’amalah. Dalam konteks, usaha
mengembangkan system ekonomi islam, kita lihat kembali konsep pemikiran yang
sangat baik pada waktu itu, sebagai inspirasi dan petunjuk. Untuk itu penulis
mencoba menyampaikan pokok – pokok pikiran dari salah satu ulama yaitu: Ibnu
Taimiyah yang berkaitan dengan masalah ekonomi, dia memiliki ilmu pengetahuan
yang sangat dalam tentang ajaran islam. Islam masa kini membutuhkan pandangan
ekonomi yang jernih tentang apa yang diharapkan dan bagaimana sesuatu itu bisa
dilakukan. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan kebebasan dalam berusaha
dan hak milik, yang dibatasi oleh hukum moral dan diawasi oleh negara yang adil
dan mampu menegakkan hukum syari’at. Seluruh kegiatan ekonomi dibolehkan,
kecuali yang secara tegas dilarang oleh syari'at.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biography Ibnu Taimiyah
Ibnu
Taimiyah yang bernama lengkap Taqiyudin Ahmad bin Abdul Halim. Riwayat Ibnu Taimiyah
sendiri dimulai ketika beliau dilahirkan dikota Harran (utara suriah). Pada
saat usianya enam tahun keluarganya mengungsi ke Damaskus, yang saat itu berada
di kesultanan mameluk, karena terancam diserbu oleh kekejaman Tartar pimpinan
abaga chan. Di damaskus Ibnu Taimiyah menempuh pendidikannya hingga tingkat
pendidikan tinggi. Kecerdasannya membuatnya diangkat menjadi pengajar pada
pendidikn tinggi dikota tersebut, saat ia berusia 20 tahun. Menjadi seorang
pengajar tidak membuat Ibnu Taimiyah merasa puas. Beliau juga mempelajari dan
menguasai dengan baik ilmu peperangan dan ilmu kepemimpinan. Namun sangat
disayangkan keberhasilan dan kesuksesan Ibnu Taimiyah, yang mendapat penghormatan
begitu besar dari masyarakat, beliau banyak dituduh, termasuk dituduh berencana
memberontak. Pemerintah mameluk pun memutuskan agar beliau dipenjara, bahkan
hingga berkali-kali, akhirnya Ibnu Taimiyah meninggal dipenjara Damaskus
diusianya yang ke 65 tahun.[1]
Meskipun
demikian, Ibnu Taimiyah masih digolongkan sebagai ujung tombak pembaharu pada
zaman mameluk, dan termasuk ahli fikih yang paling semangat dan paling lantang,
paling dalam pikirannya, dan daya ungkap bahasanya yang sangat baik. Pemikiran
ekonomi beliau banyak terdapat dalam sejumlah karya tulisnya, seperti Majmu’ Fatawa Syaikh Al-Islam,
As-Siyasah Asy-Syar’iyyah fi Ishlah Ar-Ra’i wa Ar-Ra’iyah, serta Al-Hasbah fi
Al-Islam orang-orang awam sangat mengagungkan dirinya karena perilaku dan
sangat fanatik memegang teguh agamanya.[2]
B.
Mekanisme harga
Mekanisme
harga adalah proses yang berjalan atas dasar gaya tarik menarik antara konsumen
dan produsen baik dari pasar output(barang)
ataupun input (faktor-faktor produksi). Adapun
harga diartikan sebagai sejumlah uang yang menyatakan nilai tukar suatu unit
benda tertentu.
Harga
yang adil merupakan harga (nilai barang) yang dibayar untuk objek yang sama
diberikan, pada waktu dan tempat yang diserahkan barang tersebut. Definisi
harga yang adil juga bisa diambil dari konsep Aquinas yang mendefinisikannya
dengan harga kompetitif normal. Yaitu harga yang berada dalam persaingan
sempurna yang disebabkan oleh supply dan demand, tidak ada unsur spekulasi.
Menurut
Ibnu Taimiyah, naik turunnya suatu harga bukan saja
dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan tetapi ada faktor-faktor yang lain, ia
menganalisis bahwa kenaikan harga bisa karena penurunan supply barang atau peningkatan jumlah
pembeli, terjadi karena kehendak Allah- atau disebut harga pasar yang adil. Dan
kenaikan harga juga bisa disebabkan oleh perilaku zalim penjual berupa
penimbunan dan manipulasi pasar.[3]
Dalam
pandangannya Ibnu Taimiyah juga mengatakan “kalau kenaikan harga disebabkan
karena adanya pergeseran kurva penawaran, maka obatnya adalah market
intervention. Dimasa umar bin khattab, pernah terjadi kenaikan harga gandum
karena harga paceklik didaerah hijaz, maka diimporlah gandum dari mesir.
Kebijakan yang mereka lakukan adalah menambah jumlah penawaran gandum sehingga
harga kembali normal. Akan tetapi, jika penyebab kenaikan harga tersebut bukan
dikarenakan pergeseran kurva penawaran maka islam tidak memberlakukan cara
seperti diatas. [4]
1. Harga yang
adil menurut Ibnu Taimiyah
Nilai
harga dimana orang-orang menjual barangnya dan diterima secara umum sebagai hal
yang sepadan dengan barang yang dijual ataupun barang-barang yang sejenis
lainnya di tempat dan waktu berbeda. Ada dua terma yang seringkali ditemukan
dalam pembahasan Ibnu Taimiyah tentang masalah harga, yakni kompensasi yang
adil dan harga yang adil. Dia berkata :” Kompensasi yang setara akan diukur dan
ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan itulah esensi dari keadilan”.
Kompensasi yang adil adalah penggantian yang sama yang
merupakan nilai harga sepadan dari sebuah benda menurut adat kebiasaan. Adapun
harga yang adil adalah nilai harga dimana orang-orang menjual barangnya dapat
diterima secara umum sebagai hal yang sepadan dengan barang yang dijual itu.
Keadilan yang dikehendaki oleh Ibnu Taimiyah berhubungan dengan prinsip “La
Dharar” yakni tidak melukai dan tidak merugikan orang lain, dengan berbuat adil
maka tidak akan terjadi kezaliman.[5]
Konsep harga yang
adil pada hakikatnya telah ada dan digunakan sejak awal kehadiran Islam.
Al-Quran sendiri sangat menekankan keadilan dalam setiap aspek kehidupan umat
manusia. Oleh karena itu, adalah hal yang wajar jika keadilan juga diwujudkan
dalam aktivitas pasar, khususnya harga. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah
Saw. menggolongkan riba sebagai penjualan yang terlalu mahal yang melebihi
kepercayaan para konsumen.[6]
Konsep Ibnu
Taimiyah tentang kompensasi yang adil dan harga yang adil memiliki dasar
pertimbangan yang berbeda, konsep kompensasi yang adil muncul ketika menghadapi
kewajiban moral dan hukum, sedangkan konsep harga yang adil muncul ketika
menghadapi harga yang sebenarnya.
2. Upah yang adil
konsep
upah yang adil dimaksudkan sebagai tingkat upah yang wajib diberikan kepada
para pekerja sehingga mereka dapat hidup secara layak ditengah-tengah
masyarakat. Berkenaan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengacu pada tingkat harga
yang berlaku dipasar tenaga kerja (dan menggunakan istilah upah yang setara. Seperti
halnya harga, prinsip dasar yang menjadi objek observasi dalam menentukan suatu
tingkat upah adalah definisi tentang kualitas dan kuantitas. Harga dan upah,
ketika keduanya tidak pasti dan tidak ditentukan atau tidak dispesifikasikan
dan tidak diketahui jenisnya, merupakan hal yang samar dan penuh dengan
spekulasi.
3. Laba yang adil
Ibnu
Taimiyah mengakui ide tentang keuntungan yang merupakan motivasi para pedagang.
Menurutnya, para pedagang berhak memperoleh keuntungan melalui cara-cara yang
dapat diterima secara umum tanpa merusak kepentingan dirinya sendiri dan kepentingan
para pelanggannya. Ia mendefinisikan laba yang adil sebagai laba normal yang
secara umum diperoleh dari jenis perdagangan tertentu, tanpa merugikan orang
lain. Ia menentang keuntungan yang tidak lazim, bersifat eksploitatif dengan memanfaatkan ketidak pedulian
masyarakat terhadap kondisi pasar.[7]
Menurut
Ibnu Taimiyah, hukum asal dari segala muamalah didunia adalah boleh kecuali
yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, tiada yang haram kecuali yang diharamkan
Allah, dan tidak ada agama selain yang disyariatkan.[8]
C. Mekanisme pasar
Pasar dalam pengertian ilmu ekonomi adalah pertemun antara permintaan
dan penawaran. Dam pengertian ini, pasar bersifat interaktif bukan fisik.
Adapun proses penentuan tingkat harga berdasarkan kekuatan dan permintaan dan
penawaran.
Menurut
Ibnu Taimiyah, ada dua faktor penyebab bergesernya kurva penawaran daan
permintaan, yaitu karena adanya tekanan pasar yang otomatis ataupun perbuatan
yang melanggar hukum dari penjual. Menurut Ibnu Taimiyah harga pasar haruslah
terjadi dalam pasar kompetitif dan tidak boleh ada penipuan. [9]
Ibnu
Taimiyah tela membahas pentingnya suatu persaingan dalam pasar yang bebas,
peranan market supervisor dan lingkup dari peranan negara. Negara harus
mengimplementasikan aturan main yang islami sehingga produsen, pedagang, dan
para agen ekonomi lainnya dapat melakukan transaksi secara jujur dan fair.
Negara juga harus menjamin pasar berjalan secara bebas dan terhindar dari
praktik-prakik pemaksaan, manipulasi dan eksploitasi yang memanfaatkan
kelemahan pasar sehingga persaingan dapat berjalan dengan sehat.
Dalam
hal kepemilikan atas sumber daya ekonomi, Ibnu Taimiyah tampaknya berada pada
pandangan pertengahan jika dilihatdari pemikiran ekstream kapitalisme dan
sosialisme. Meskipun ia sangat menekankan pentingnya pasar bebas, tetapi negara
harus membatasi dan mengahambat kepemilikan individual yang berlebihan.
Kepentingan bersama harus menjadi tujuan utama dari pembangunan ekonomi. [10]
D. Regulasi harga
Regulasi harga adalah penetapan harga barang-barang oleh
pemerintah. Sebagian orang berpendapat bahwa negara dalam islam tidak boleh
mencampuri masalah ekonomi dengan mengharuskan nilai-nilai dan moralitas atau
menjatuhkan sanksi kepada orang yang melanggarnya. Mereka berpendapat seperti itu
berdasarkan pada hadits Nabi SAW yang tidak bersedia menetapkan harga walaupun
pada saat itu harga sedang melambung tinggi, hal ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Anas bin Malik RA:
“Dari Anas bin Malik RA beliau berkata :harga
barang-barang pernah mahal pada masa Rasulullah Saw. Lalu orang-orang berkata :
ya Rasulullah harga-harga menjadi mahal,tetapkanlah standar harga untuk kami,
lalu Rasulullah bersabda : sesungguhnya Allah lah yang menetapkan harga, yang
menahan dan membagikan rizki, dan susungguhnya saya mengharapkan agar saya
dapat berjumpa dengan Allah Swt dalam keadaan tidak seorangpun diantara kamu
sekalian yang menuntut saya karena kezaliman dalam pertumpaham darah (pembunuh)
dan harta”. Driwayatkan oleh perawi yang lima kecuali an-Nasai.
Menurut Ibnu Taimiyah, hadis tersebut
mengungkapkan bahwa nabi Saw tidak ingin ikut campur dalam masalah regulasi harga-harga
barang. Akan tetapi hal tersebut diakibatkan oleh kenikan harga yang dipicu
kondisi objektif pasar di Madinah, bukan karena kecurangan yang dilakukan oleh
sekelompok masyarakat yang ingin mengejar keuntungan belaka.Ibnu Taimiyah
berpendapat bahwa kenaikan harga barang-barang pada masa Nabi Saw dikarenakan
oleh bekerjanya mekanisme harga.[11]
Ibnu
Taimiyah membedakan dua jenis penetapan (regulasi) harga,yakni penetapan harga
yang tidak adil dan cacat hukum serta penetapan harga yang adil dan sah menurut
hukum.penetapan harga yang adil adalah penetapan harga yang dapat diterima
secara umum, sedangkan harga yang tidak adil dan cacat hukum adalah penetapan
harga yang dilakukan pada saat kenaikan harga-harga terjadi akibat persaingan
pasar bebas, yakni kelangkaan supply atau kenaikan demand.
Pada
kondisi terjadinya ketidaksempurnaan pasar, Ibnu Taimiyah merekomendasikan
penetapan harga oleh
pemerintah. Sebagai contoh, apabila para
penjual (arbab al-sila`) menghentikan penjualan barang-barang
mereka kecuali pada harga yang lebih tinggi dari pada harga normal (al-qimah al-ma`rufah) dan pada saat bersamaan
masyarakat membutuhkan barang-barang tersebut, mereka akan diminta untuk
menjual barang-barangnya pada tingkat harga yang adil.
Contoh nyata dari
pasar yang tidak sempurna adalah adanya monopoli terhadap makanan dan
barang-barang kebutuhan dasar lainnya. Dalam kasus seperti ini, penguasa harus
menetapkan harga (qimah al-mitsl) terhadap transaksi
jual beli mereka. Seorang monopolis jangan dibiarkan secara bebas untuk
menggunakan kekuatannya karena akan menentukan harga semaunya yang dapat
menzalimi masyarakat.[12]
Jual beli yang
dihalalkan Allah adalah segala bentuk jual beli, kecuali yang telah nyata
diharamkan. Karena itu, kegiatan yang berkaitan dengan transaksi kebendaan pada
dasarnya dibolehkan. Pendapat ini didukung oleh kaidah fiqhiyah yang
mengelompokkan akad, syarat, dan kegiatan keuangan lainnya sebagai kegiatan
hubungan sosial. Berangkat dari sini, semua kegiatan sosial muamalah hukumnya
boleh, kecuali yang jelas disebutkan keharamannya.[13]
Otoritas
pemerintah dalam melakukan pengawasan harga harus
dirundingkan terlebih dahulu dengan penduduk yang berkepentingan. Tentang ini, Ibnu
Taimiyah menjelaskan sebuah metode yang diajukan pendahulunya, Ibnu Habib,
bahwa pemerintah harus menyelenggarakan musyawarah dengan para tokoh perwakilan
dan pasar. Yang lain juga diterima hadir, karenanya mereka harus diperiksa
keterangannya. Setelah melakukan perundingan dan penyelidikan tentang transaksi
jual beli, pemerintah harus secara persuasif menawarkan ketetapan harga yang didukung
oleh para peserta musyawarah, juga penduduk semuanya. Jadi keseluruhannya harus
sepakat dengan hal itu.
Dalam
kitabnya al-hisbah, penetapan harga diperlukan untuk
mencegah manusia menjual makanan dan barang lainnya hanya kepada kelompok
tertentu dengan harga yang ditetapkan sesuai keinginan mereka. Oleh karena itu,
regulasi harga (fixed price policy) sangat mempermudah usaha mikro dalam
menghadapi menipulasi pasar yang umumnya dilakukan oleh pengusaha besar.
Kebijakan ini sering digunakan oleh pemerintah untuk melindungi sektor usaha
mikro dari kehancuran.[14]
Pemikiran
Ibnu Taimiyah tentang regulasi harga ini juga berlaku terhadap berbagai faktor
produksi lainnya. Ia menyatakan bahwa apabila para tenaga kerja menolak
memberikan jasa mereka sementara sementra masyarakat sangat membutuhkannya atau
terjadi ketidaksempurnaan dalam pasar tenaga kerja, pemerintah harus menetapkan
upah para tenaga kerja. Tujuan penetapan harga ini adalah untuk melindungi para
majikan dan pekerja dari aksi saling mengeksploitasi diantara mereka. [15]
E. Uang dan
kebijakan moneter
1. Uang,
penerbitan uang, dan fungsi uang
Dalam
ekonomi islam secara etimologi uang berasal dari kata al-naqdu-nuqud
pengertiannya ada beberapa makna, yaaitu al-naqdu berarti yang baik dari
dirham, menggenggam dirham, membedakan dirham, dan al-naqd juga berarti
tunai. Kata nuqud tidak terdapat dalam al-qur’an dan hadis karena bangsa arab
umumnya tidak mengunakan nuqud untuk menunjukkan harga. Mereka menggunakan kata
dinar untuk menunjukkan uang yang terbuat dari emas, kata dirham untuk alat
tukar yang terbuat dari perak,sementara itu kata fulus (uang dari tembaga)
adalah alat tukar tambahan yang digunakan untuk membeli barang-barang murah.
Penerbitan
uang merupakan masalah yang dilindungi oleh kaidah-kaidah umum syariat islam.
Penerbitan dan penentuan jumlahnya merupakan hal yang berkaitan dengan
kemaslahatan umat. Karena itu, berain-main dalam penerbitan uang akan mendatangkan
kerusakan ekonomi rakyat dan negara, misalnya hilangnya kepercayaan terhadap
mata uang, terjadinya pemalsuan uang, pembengkakan jumlah uang yang beredar,
turunnya nilai uang(inflasi), dan kemudaratan lainnya. Dikalangan ekonom muslim
berpendapat bahwa penerbitan uang merupakan otoritas negara dan tidak bolehkan
untuk individu melakukan hal tersebut, karena dampaknya sangat buruk. Untuk menjaga stabilitas nilai tukar uang, Ibnu Taimiyah menegaskan,
pemerintah sebagai pemegang otoritas dalam masalah ini harus mencetak uang
sesuai dengan nilai transaksi dari penduduk. Jumlah uang yang beredar harus
sesuai dengan nilai transaksi.
Fungsi
uang dalam ekonomi islam yaitu sebagai satuan nilai atau standar ukuran harga (unit of account),
dan media pertukaran (medium of change). [16]
2. Penurunan
nilai mata uang
Ibnu Taimiyah
menentang keras terjadinya penurunan nilai mata uang dan percetakan mata uang
yang sangat banyak. Ia menyatakan,
Penguasa seharusnya
mencetak fulus (mata uang selain dari emas dan perak) sesuai dengan nilai yang
adil (proporsional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman
terhadap mereka.
Pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa Ibnu Taimiyah
memiliki beberapa pemikiran tentang hubungan antara jumlah mata uang. Ibnu
Taimiyah meminta pihak penguasa agar tidak melakukan monetisasi terhadap mata
uang yang sedang beredar dimasyarakat. Ia menyatakan bahwa penciptaan mata uang
dengan nilai nominal yang lebih besar dari nilai intrinsiknya dan kemudian
menggunakan uang tersebut untuk membeli emas, perak atau benda berharga lainnya
dari masyarakat, akan menyebabkan penurunan nilai mata uang.[17]
3.
Mata Uang yang Buruk Akan Menyingkirkan Mata
Uang yang Baik
. Hal itu akibat beredarnya mata uang lebih
dari satu jenis pada saat itu dengan kandungan logam mulia yang berbeda.
Sebagaimana dinyatakan di atas, bahwa 1 Dirham yang semula mengandung 2/3 perak
dan 1/3 tembaga, sekarang menjadi terdiri atas 1/3 perak dan 2/3 tembaga.
Masyarakat yang masih memegang Dinar dan Dirham lama termotivasi untuk menukar
uangnya tersebut dengan produk-produk dari luar negeri karena akan mendapatkan
jumlah produk yang lebih banyak atau lebih menguntungkan. Selanjutnya, makin
banyak masyarakat beralih pada penggunaan Fulus sebagai alattransaksi.Akibatnya
peredaran Dinar sangat terbatas, Dirham bahkan menghilang.
Sementara Fulus beredar
secara luas. Banyaknya fulus yang beredar mengakibatkan sistem moneter pada
waktu itu tidak stabil.[18]
BAB III
PENUTUP
A.
kesimpulan
pemikiran ibnu taimiyah tentang ekonomi Seperti
mekanisme harga, mekanisme pasar, tentang mata uang berkulitas buruk dan
berkualitas baik. Menurut Ibnu Taymiyah, uang berkualitas buruk akan menendang
keluar uang yang berkualitas baik, akan menyingkirkan keluar mata uang emas dan
perak. Fungsi utama uang hanya sebagai alat tukar dalam transaksi dan sebagai satuan nilai. Semua kebijakan
tentang uang yang dibuat pemerintah harus dalam rangka untuk kesejahteraan
masyarakat, tidak dibolehkannya Pencetakan uang yang tidak didasarkan pada daya
serap sektor riil, karena hanya akan meningkatkan inflasi dan menurunkan
kesejahteraan masyarakat. Penimbunan uang dilarang, karena menyebabkan
melambatnya perputaran uang yang berdampak pada turunnya jumlah produksi dan
kenaikan harga-harga produk. Peleburan uang logam dilarang, karena akan
mengurangi pasokan uang secara permanent yang berdampak pada kenaikan
harga-harga produk.
B.
Saran
Dengan disusunnya makalah sejarah pemikiran
ekonomi islam (SPEI) ini tentang, pemikiran ekonomi ibnu taimiyah.
penulis mengharapkan pembaca dapat mengetahui kajian ini,Untuk mengetahui lebuh
jauh, lebih banyak, dan lebih lengkap pembahasan tentang pemikiran ekonomi ibnu
taimiyah, pembaca dapat membaca dan mempelajari buku-buku dari
berbagai pengarang, karena penulis hanya membahas garis besarnya saja tentang SPEI
dan hanya membahas lebih dalam tentang pemikiran
ekonomi ibnu taimiyah.
Disini penulis menyadari bahwa dalam penulisan
makalah ini masih jauh dari sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun
untuk penulisan makalah-makalah selanjutnya sangat diharapkan.
Daftar pustaka
-
Amin, akhmad husayn. 2003. Seratus tokoh dalam sejarah
islam. Bandung: remaja rosdakarya.
-
Chamid, nur. 2010. Jejak langkah sejarah pemikiran
ekonomi islam. Yogyakarta: pustaka pelajar.
-
Hasanudin. 2011. multiakad dalam
transaksi syariah kontemporer, dalam jurnal Al-Iqtishad , vol 3, no 1.
Jakarta: Dewan redaksi FSH-UIN syarif hidayatullah.
-
Prima, Husnal “pemikiran ekonomi ibnu taimiyah” http://rangkumanpembelajaran.blogspot.com/2011/05/pemikiran-ekonomi-ibnu-taimiyah.html.
diakses tanggal 17/05/2015
-
Ika yunia dan
abdul kadir. 2014. prinsip dasar
ekonomi syariah. jakarta: prenada media group.
-
Karim, azwar
adiwarman. 2012. Sejarah pemikiran ekonomi islam. Jakarta: raja grafindo
persada.
-
Mujahidin,
akhmad. 2013. Ekonomi islam: sejarah, konsep instrumen, negara, dan pasar.
Jakarta: raja grafindo persada.
-
Pusat pengkajian
dan pegembangan ekonomi islam. 2011 Ekonomi islam. Jakarta: raja
grafindo persada.
-
Razi, muhammad.
2009. 50 ilmuwan muslim populer. Jakarta: qultummedia
-
Rozalinda. 2014.
Ekonomi islam. Jakarta: raja grafindo persada.
ConversionConversion EmoticonEmoticon