BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Agama islam memiliki
ajaran yang sangat universal. Ajarannya menitikberatkan pada keseimbangan,
keselamatan, keharmonisan dan kemaslahatan bagi umatnya. Islam juga memberikan
kebebasan dan menghargai perbedaan yang ada dalam keberagaman. Dalam bidang
agama, Islam mengakui perbedaan karena hal ini adalah sunatullah sehingga bagi
masyarakat beragama tentu harus mengedepankan nilai-nilai toleransi dalam
beragama, saling menghormati dan tidak memaksakan kehendak orang lain baik yang
seagama maupun tidak.
Dalam ibadah juga tidak
boleh ada kreativitas dan campur tangan manusia karena ibadah merupakan hak dan
otoritas Tuhan untuk menetapkannya. Akan tetapi, ketika ada perbedaan dalam
praktiknya selama itu tidak keluar dari ketentuan-ketentuan Allah dan Rasulnya
maka sikap yang paling utama adalah saling menghargai satu sama lainnya dan
tentu saja tidak saling menyalahkan serta menganggap dirinya yang paling benar.
Begitu juga dengan
urusan Thaharah yang secara bahasa dikatakan sebagai bersuci. Dimana hal ini sangatlah dianjurkan bagi
setiap muslim dan merupakan syarat mutlak bagi kita untuk meaksanakan amalan
yang paling utama dalam islam yakni shalat.
Dalam pembahasan
makalah ini akan dibahas pula bagaimana penafsiran-penafsiran yang ada
diayat-ayat suci al-quran yang berkaitan dengan tata cara Thaharah, serta
pendapat para ahli tentang definisi berkenaan dengan Thaharah.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian dari thaharah itu?
2.
Apa
saja pembagian thahara?
3.
Bagaimana
pendapat para ulama tentang thaharah?
4.
Bagaimana
bunyi dan arti dari Q.S Al-muddassir ayat 1-4 dan Al-baqarah ayat 222?
5.
Bagaimana
penjelasan dan penafsiran para ulama tentang kedua ayat tersebut?
C.
Tujuan
1.
Untuk
menambah wawasan tentang pengertian thaharah.
2.
Untuk
mengenal lebih jauh makna dari ayat-ayat yang akan dibahas.
3.
Untuk
mengetahui penafsiran dan penjelasan tentang Q.S Al-muddassi ayat 1-4 dan
Al-baqarah ayat 222 secara mendalam.
4.
Untuk
memperdalam dan membandingkan bagaiman pendapat para ulama mengenai kedua ayat
yang akan dibahas.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Thaharah
Kata thaharah disini adalah ‘isim mashdar yaitu dari fi’il
madliy thahara yaitu yuthiru,
thahiran dan thoharatan. Thaharah
menurut bahasa artinya bersih dari kotoran. Sedangkan menurut syar’i fuqoha
thaharah mempunyai banyak ta’arif atau definisi diantaranya mereka berkata:
“suatu pekerjaan dimana menyebabkan seseorang diperkenankan menegerjakan shalat
yaitu wudhu, mandi, tayamum dan menghilangkan najis.[1]
Adapun dengan thaharah dengan dibaca dhammah tho’-nya adalah air yang
dipergunakan bersuci. Hakekat pengertiannya adalah penggunaan alat yang
menyucikannya itu air atau tanah atau salah satu dari keduanya menurut cara
yang disyariatkan oleh agama dalam menghilangkan atau menyucikan hadas. Karena
ahli fikih hanya membahas hal-hal yang bertalian dengan orang mukallaf (orang
yang dibebani atau baligh dalam mengerjakan yang wajib dan lainnya) kemudian
karena air itu adalah zat yang diperintahkan untuk dipergunakan sebagai alat
bersuci mengingat air itu dipergunakan sebagai alat bersuci mengingat air itu
dapat menyucikan hingga ke dasarnya.
Thaharah dalam bahasa mempunyai pengertian bersuci
dari kotoran baik dari kotoran yang bersifat hissy (dapat dirasakan oleh indera)
atau maknawi. Sebagai contoh yang maknawi terdapat pada sebuah hadis riwayat
Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW sedang menjenguk orang sakit beliau bersabda yang
artinya: “tidak apa-apa. Ia akan menjadi pembersih bagimu insya Allah.”[2]
1.
Thaharah
menurut ulama
a.
Madzhab
hanafi
Thaharah
menurut syara’ berarti bersih dari hadas dan najis. Pengertian bersih itu
mencakup hal yang diusahakan oleh seseorang atau tidak seperti najis yang
hilang karena ada air yang jatuh padanya. Sedangkaan pengertian hadas kecil
yakni yang menghilangkan wudhu. Dan hadas besar yakni janabah yang diwajibkan
untuk mandi.
b.
Madzhab
maliki
Thaharah
itu suatu sifat yang menurut pandangan hukum mengakibatkan diperbolehkannya
orang yang mempunyai sifat itu melakukan shalat dengan pakaian yang dipakainya,
tempat yang ia gunakan untuk melakukan shalat.
c.
Madzhab
syafii
Ulama
ini berkata bahwa thaharah menurt syara’ mempunyai dua pengertian:
1)
Suatu
perbuatan yang membolehkan seseorang melakukan shalat seperti wudhu, mandi,
tayamum, dan menghilangkan najis atau sesuatu perbuatan yang searti dan serupa
dengannya.
2)
Hilangnya
hadas, najis atau yang serupa dengannya. Dan suatu perbuatan yang bersifat
maknawi yang diakibatkan oleh perbuatan.
d.
Mazhab
hambali
Thaharah
adalah hilangnya hadas yang semakna dengannya dan hilangnya najis atau hukum
najis itu sendiri.
2.
Macam-macam
thaharah
Thaharah yang dilihat dari segi umumnya terbagi
menjadi dua macam yaitu:
a.
Thaharah
lahiriah yaitu suatu sifat suci yang awalnya memnag bersifat suci dan dapat
diketahui seperti hadas dan najis.
b.
Thaharah
batiniah adalah suatu sifat yang menyucikan diri dari kotoran seperti
kesyirikan dan kemaksiatan.
Thaharah yang dipandang
dari segi kemungkinan adanya sifat yang diberikan karena adanya sifat tertentu
yang diberikan kepadanya dibedakan menjadi dua macam yaitu:
a.
Thaharah ashliyah adalah suatu sifat suci yang dimiliki oleh
benda-benda yang suci menurut asal kejadiannya. Seperti air, debu, besi, barang
tambang, dan lain-lain.
3.
Syarat-syarat
thaharah
Adapun syarat untuk thaharah antara lain:
a.
Beragama
islam
b.
Mempunyai
akal yang sehat (tidak gila)
c.
Suci
dari haid dan nifas
d.
Sudah
masuk waktunya
e.
Ada
air atau alat untuk bersuci lainnya
f.
Mampu
untuk melakukannya
B.
Ayat,
Terjemahan dan Penjelasannya
1.
Al-muddassir
(orang yang berselimut)
a.
Ayat
dan terjemahan
$pkr'¯»t ãÏoO£ßJø9$# ÇÊÈ óOè% öÉRr'sù ÇËÈ y7/uur ÷Éi9s3sù ÇÌÈ y7t/$uÏOur öÎdgsÜsù ÇÍÈ
Artinya: 1) Hai orang yang berkemul (berselimut) 2) Bangunlah,
lalu berilah peringatan! 3) Dan Tuhanmu agungkanlah! 4) Dan pakaianmu
bersihkanlah. ( Q.S. al- Muddassir: 1-4)
Adapun didalam ayat
diatas memiliki kata fatahhir yang
berarti bersihkan dirimu dari perbuatan-perbuatan tercela dan perbaikilah ia
dari hal-hal yang buruk.[4]
Mengenai makna kata
tersebut, Ibnu Abbas pernah ditanya tentang hal tersebut, maka Ibnu Abbas
menjawab “janganlah engkau mengenakannya untuk bermaksiat dan ingkar janji.”
Kemudian ia berkata lagi: tidakkah engkau mendengar ucapan Gailan Ibnu Maslamah
As-saqafi yang mengatakan “Alhamdulillah, aku tidak mempunyai pakaian jahat
yang ku pakaidan tidak pula pakaian ingkar yang puas rasanya.”
Orang-orang Arab
mengatakan tentang seseorang yang ingkar janji dan tidak menepatinya adalah
orang yang kotor pakaiannya. Tetapi apabila ia menepati janji dan tidak ingkar
maka mereka mengatakan bahwa ia bersih pakaian. Berkata pula Samual bin ‘adiyah
yang seorang Yahudi: “jika seorang tidak menodai kehormatannya dengan cela,
maka segala yang dikenakannya akan menjadi indah.”
Makna-makna yang
demikian ini tetap digunakan di Mesir dan negeri-negeri lainnya. Mereka
mengatakan fulanun tahiruz zail, apabila mereka hendak menyatakan bahwa si
fulan tidak bersentuhan dengan seorang perempuan asing sama sekali.
Akan tetapi sejumlah
imam berpendapat bahwa yang dimaksud dengan taharatus
siyab adalah mencuci pakaian itu dengan air apabila pakaian tersebut kena
najis. Pendapat yang demikian diriwayatkan dari banyak sahabat dan tabiin. Dan
pendapat ini pula yang dipilih oleh Imam Syafii sehingga mewajibkan untuk
mencuci najis dari pakaian musalli.
Telah dijelaskan bagi
orang-orang yang sibuk dengan pokok-pokok perundangan, dan para ilmuwan sosial
Eropa bahwa orang yang paling kotor tubuh dan pakaiannya adalah orang yang
paling banyak dosanya. Dan orang yang paling bersih badan dan pakaiannya adalah
orang yang paling jauh dari dosa. Oleh karena itu mereka memerintahkan kepada
orang-orang tahanan agar banyak mandi dan membersihkan pakaian sehingga mereka
akan baik akhlaknya dan keluar dari penjara serta lebih dekat kepada akhlak
yang utama dari pada akhlak yang hina.
Profesor Bentham dalam
bukunya Usulul Tasyri’ (The
Principles Of Morals And Legislation) berkata:” sesungguhnya kebersihan yang
banyak dalam agama islam itu membawa para pengikutnya kepada ketinggian akhlak
dan keutamaan, apabila mereka menjalankan perintah-perintah agama mereka dengan
sebaik-baiknya.”
Dari sini dapat
diketahui bahwa makna lafal dari wa tsiyabaka
fatihhar yaitu jauhilah maksiat dan doa yang dapat menyampaikan kepada azab
dunia dan akhirat. Karena jiwa itu jika bersih dari maksiat daan dosa akan siap
untuk berlapang kepada yang lain dan mau mendengar dan rindu kepada apa yang
diserukan oleh juru dakwah.
2.
Al-baqarah
ayat 222
tRqè=t«ó¡our
Ç`tã
ÇÙÅsyJø9$# (
ö@è%
uqèd
]r& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$#
Îû ÇÙÅsyJø9$# ( wur
£`èdqç/tø)s?
4Ó®Lym tbößgôÜt (
#sÎ*sù
tbö£gsÜs?
Æèdqè?ù'sù ô`ÏB
ß]øym ãNä.ttBr& ª!$#
4
¨bÎ)
©!$#
=Ïtä tûüÎ/º§qG9$# ïÌÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ =Ïtäur
ú
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh.
Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah Suci, Maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri.
Dari Anas r.a berkata:”biasa orang yahudi jika
istrinya berhaid maka tidak tinggal bersama di rumah dan tidak makan bersama.
Maka sahabat nabi SAW bertanya sehingga Allah menurunkan ayat 222 ini, dan
dibaca oleh nabi SAW kemudian Rasulullah bersabda yang artinya: berbuatlah
sesukamu kecuali bersetubuh.” Yang artinya hanya bersetubuh saja yang dilarang
diwaktu istri sedang haid.
Fa’tazilun nisaa’a
fil mahii dhi yang artinya hindarilah kemaluan
istrimu diwaktu haid sebab nabi sawberkata :“berbuatlah terhadap istrimu
sesukamu kecuali bersetubuh.”
Di sini nyata bahwa penjelasan ayat itu harus
mengikuti keterangan nabi saw. Sebab kata fa’tazilun
dalam bahasa berarti menyendiri, menjauh. Demikian pula dengan kalimat wa laa taqrabuhuna yang artinya jangan
dekati mereka. Tetapi sudah ada penjelasan dari nabi saw bahwa uzlah dan dekat berarti bersetubuh maka
kita hanya mengikuti keterangan nabi saw. Oleh karena itu maka ulama
berpendapat bahwa boleh-boleh saja bersuka-suka dengan istri yang seddang haid
pada semua tubuh kecuali tarji.[5]
Masruq bertanya kepada Aisyah: “apakah yang
dibolekanbagi suami terhadap istrinya yang sedang haid?” kemudian Aisya
menjawab: “segala sesuatu (semuanya) kecuali farjinya.” Dilain riwayat
dikatakan “ Boleh berbuat segala sesuatu kecuali bersetubuh (jima’). Hal ini
menunjukkan boleh tidur bersama dan makan bersama.
Maimunnah r.a berkata: “adanya Nabi saw. Jika akan
berkumpul dengan istrinya yang sedang haid, disuruhnya bersarung. (HR. Bukhari
Muslim)
Berdasarkan hadis diatas yang serupa hujjah bagi
pendapat yang membolehkan mubasyarah diluar sarung dan hal ini merupakan salah
satu pendapat Imam Syafii.
Adapun terhadap oarng yang sudah terlanjur
bersetubuh pada istrinya diwaktu haid maka ia telah berdosa dan harus
beristighfar minta ampun kepada Allah dan membayar kaffarah tebusan denda.
Ibnu Abbas ra. Mengatakan bahwa nabi Muhammad saw
mengharuskan bagi orang yang bersetubuh dengan istrinya diwaktu haid, harus
bersedekah satu dinar atau setengah dinar. (ahmad dan ahlussunan)
Pendapat kedua yaitu jumhurul ulama dan qaul jadid
dari imam syafii tidak membayar denda karena hadis ini mereka anggap mauqul.
Wala
taqrabuhunna hatta yath hurna: larangan mendekati
istri selama masih ada haidnya. Hal ini diartikan jika haidnya sudah berhenti
maka diperbolehkan atau dihalalkan bagi keduanya.
Fa idza
tathahharna ta’ tuhuna min haitsu amarakum allahu
yang dimaksudkan dalam kalimat ini adalah anjuran dan tuntunan agar seorang
istri hendaknya mandi bersuci terlebih dahulu baru di jima’.
Ibnu hazm menganggap ayat ini perintah supaya di
jima’ tiap sesudah suci dari haid. Sebenarnya tidak berdasar sebab perintah ini
sudah larangan, sedang yang tepat hukumnya kembali sebagaimana keadaannya
dahulu sebelumnya larangan. Jika sebelum larangan itu wajib maka wajib jika
tidak maka tidak juga.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Agama islam memiliki
ajaran yang sangat universal. Ajarannya menitikberatkan pada keseimbangan,
keselamatan, keharmonisan dan kemaslahatan bagi umatnya. Islam juga memberikan
kebebasan dan menghargai perbedaan yang ada dalam keberagaman.
Begitu juga dalam pengertian
kata Thaharah dalam surat al-muddassir ayat 1-4 dan al-baqarah ayat 222
meskipun keduanya memiliki perbedaan dalam hal makna. Hal ini menunjukkan
betapa isi kandungan al-quran dalam penyampaiannya sangatlah luas.
Dalam Q.S al-muddassir
ayat 1-4 berisikan tentang thaharah yang berada dalam pengartian thaharah yang
bersifat maknawi dimana kita sebagai manusia dan muslim diperintahkan untuk
tidak mengotori jiwa kita dengan perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan
identitas kita sebagai orang islam dan senantiasa berbuat kebajikan dan
menjauhi segala larangan yang telah Allah swt perintahkan.
Dalam Q.S al-baqarah
222 berisikan bagaimana suci dalam perspektif hubungan suami istri. Islam
begitu mempermudahkan umatnya bahkan dalam al seperti ini dibahas secara rinci
serta tidak mempersulit hubungan antara suami dan istri sebagaimana isi
penafsiran para ulama tentang ayat ini.
B.
Saran
Demikianlah makalah ini dibuat, kami berharap
makalah ini dapat menjadi bahan bacaan yang mampu menambah wawasan bagi kita
serta menambah rasa cinta kita kepada islam yang selalu konsisten dengan konsep
dasar rahmatan lil alamin. Kami mnyadari bahwa makalah ini dibuat sangatlah
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun kepada kami agar terciptanya karya yang lebih baik lagi dimasa
yang akan datang.
[1] Drs. Abubakar Muhammad. Terjemahan Subulus Salam. Surabaya:
Al-Ikhlas. Hlm 19
[3] Moh. Zuhri, Dkk. Fiqih Empat Madzhab. Semarang: Cv
As-Syifa. Hlm. 8
[4] Ahmad Mushthafa
Al-Maraghi. Terjemah Tafsir Al-Maraghi. Semarang: cv Toha
Putra Semarang. Hal. 214
[5] Diterjemahkan
Oleh Salim Bahreisy Dan Said Bahreisy. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu
Katsier Jilid 1. Surabaya: Pt. Bina Ilmu. Hal. 390
ConversionConversion EmoticonEmoticon