BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ilmu Kalam atau
Teologi Islam telah disepakati sebagai ilmu keislaman dalam pengertian bercorak
islam. Ilmu Kalam, dalam bentuknya sebagai sebuah disiplin ilmu keislaman, yang
lahir pada abad ke-2 H/8 M lewat sentuhan tangan kaum Mu’tazilah, dibangun di atas
sebuah landasan epistemologi tertentu. Seperti halnya epistemologi pada
umumnya, teori pengetahun kalam lebih dimaksudkan untuk memberikan jawaban
setidaknya terhadap dua pertanyaan mendasar berikut ini. Pertama, apa yang dapat kita ketahui, dan kedua, bagaimana atau engan apa
kita mengetahuinya. Pertanyaan pertama berkaitan dengan lingkup atau objek
kajian, sedangkan yang kedua terkait langsung dengan sumber atau alat dan
metode mendapatkan pengetahuan tentang objek itu.
Objek kajian Ilmu Kalam, sebagaimana terlihat dalam
uraian di atas, adalah berintikan pada masalah Tuhan. Sangat boleh jadi karena
dimensi ini Ilmu Kalam dinamakan pula dengan Teologi Islam—yang dari sudut
kebahasaan memang berati ilmu tentang Tuhan (theos berarti Tuhan dan logos
artinya ilmu. Termasuk masalah
ketuhanan di sini adalah masalah-masalah metafisik seperti akhirat; atau
ringkasnya adalah hal-hal yang termasuk dalam wilayah akidah Islam. Oleh karena
itu topik-topik seperti sifat Tuha, perbuatan dan kalam Tuhan, sebagai tergelar
dalam karya-karya kalam, jelas termasuk masalah ketuhanan; dan masalah
keakhiratan—seperti surga dan neraka—serta hal-hal metafisik atau gaib—seperti
malaikat, jin dan semisalnya, sebagaimana kita temukan dalam buku-buku teologi
Islam, juga dibenarkan sebagai objek kajian ilmu kalam. Jika kita merujuk
keterangan Nurcholish Madjid, yang mengatakan bahwa ilmu kalam membahas tuhand
an derivasi-Nya, maka hal-hal di luar diri tuhan, yang menguraikan dalam
buku-buku kalam, masuk ke dalam kategori—meminjam istilah Nurcholish
Madjid—derivasi Tuhan (derivasi-nya).
Adapun sumber atau alat pengetahuan dalam Ilmu Kalam,
yakni suatu yang dengannya diperoleh pengetahuan tentang Tuhan dan
derivasi-Nya, adalah dalil naql atau wahyu dan dalil aql atau akal. Sebagaimana
cabang ilmu keislaman yang lain, wahyu merupakan sumber primer ilmu kalam
sedangkan akal adalah sumber skundernya. Mengingat wahyu dan akal sama-sama
merupakan sumber pengetahuan yang mutlak adanya dalam ilmu kalam, maka
kualifikasi primer dan skunder di sini sama sekali tidak bermakna yang satu
bisa menafikan yang lain, tetapi lebih menunjukkan peran dan posisi bersifat
teknis masing-masing sumber. Kuatipan berikut ini sedikit dapat memberikan
ilustrasi teknis menyangkut kualifikasi wahyu sebagai sumber primer dan akal
sebagai sumber skunder dalam ilmu kalam. [1]
B. Rumusan Masalah
1.
Apa itu aliran klasik ilmu kalam?
2.
Apa saja aliran ilmu kalam?
3.
Bagaimana pembagian aliran ilmu
kalam ?
4.
Apa ciri-ciri setiap aliran
tersebut?
5.
Apa saja yang melatar belakangi
tiap-tiap aliran tersebut?
C.
Tujuan
Penulisan
Agar
pembaca mengetahui mengenai materi “Sejarah
Timbulnya Pemikiran Kalam Di Era Klasik” serta dapat bermanfaat di kemudian hari sebagai penambah
wawasan para pembaca sekalian mengenai
materi ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH TIMBULNYA PEMIKIRAN KALAM DI ERA KLASIK
1. Definisi Ilmu Kalam
Ilmu kalam ialah ilmu yang
membicarakan tentang wujud Tuhan (Allah ), sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya,
sifat-sifat yang tidak ada pada-Nya dan sifat-sifat mungkin ada pada-Nya dan
membicarakan tentang Rasul-rasul Tuhan, untuk menetapakan kerasulannnya dan
mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat yang tidak mungkin
padanya dan sifat-sifat yang mungkin terdapat padanya. Ibnu Khaldun mengatakan,
ilmu kalam ialah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan
kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi
bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan
aliran golongan Salaf dan Ahli Sunnah. ( Hanafi, 1974 : 3)
2.
Asal-usul sebutan Ilmu Kalam
Arti semula dari perkataan al-kalam
ialah kata-kata yang tersusun yang menunjukan suatu maksud. Kemudian dipakai
untuk menunjukkan salah satu sifat Tuhan, yaitu sifat bicara (berkata : al-nutqu).
Dalam Qur’an banyak terdapat perkataan kalamullah, seperti dalam Al-Bara’ah,
9:6 ; Al-Baqarah, 2:75 dan 253 ; An-Nisa, 4; 164.
Perkataan al-kalam untuk menunjukkan
suatu ilmu yang berdiri sebagaimana dikenal sekarang untuk pertama kalinya
dipakai pada masa Abbasiy, atau pada masa Al-Makmun. Sebelum masa tersebut
pemabahasan tentang kepercayaan-kepercayaan dalam Islam disebut al-fiqhu
fiddin sebagai imbangan terhadap al-fiqhu fi-ilmi yang diartikan
sebagai ilmu ilmu hukum (ilmul-qanun). Ilmu ini disebut ilmu kalam
karena :
a. Persoalaan
terpenting yang menjadi pembicaraan abad-abad permulaan Hijrah ialah “firman
Tuhan” (kalam Allah) dan non-azalinya Quran (khalq Al-Quran). Karena
keseluruahan ilmu kalam dinamai dangan salah satu bagiannya yang terpenting.
b. Dasar ilmu
kalam ialah dalil-dalil pikiran dan pengaruh dalil-dalil ini nampak jelas dalam
pembicaraan-pembicaraan para mutakalimin. Mereka jarang kembali kepada dalil naqal
(Quran dan Hadis) kecuali sesudah menetapakan benarnya pokok persoalan lebih
dahulu.
c. Karena cara
pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai logika dalam filsafat, maka
pembuktian dalam soal-soal agama ini dinamai ilmu kalam untuk membedakan dengan
logika dalam filsafat.
Ilmu kalam juga dinamakan ilmu tauhid. Arti tauhid adalah
percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa (meng-esa-kan Tuhan). Ilmu kalam dinamakan
ilmu tauhid karena tujuannya ialah menetapkan keesaan Allah dalam zat dan
perbuatan-Nya dalam menjadikan alam semesta hanya Allah yang menjadi tempat
tujuan tarakhir alam ini. Prinsip inilah yang menjadi tujuan utama daripada
keutusan Nabi Muhammad saw.
Ilmu kalam juga dinamakan ilmu aqaid
(akaid) atau ilmu usuluddin. Karena persoalan kepercayaan yang menjadi pokok
ajaran agama itulah yang menjadi pokok pembicaraannya. (Hanafi, 1974 : 4)
3. Sebab-sebab Berdirinya Ilmu Kalam
Ilmu kalam sebagai ilmu yang berdiri
sendiri belum dikenal pada masa Nabi Muhammad saw., maupun pada masa
sahabat-sahabatnya. Akan tetapi baru dikenal pada masa berikutnya, setelah
ilmu-ilmu keislaman yang lain satu persatu muncul dan setelah orang banyak
membicarakan tentang kepercayaan gaib (metafisika). Faktor-faktor yang
mempengaruhi timbulnya ilmu kalam dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu
faktor-faktor yang datang dari dalam Islam dan kaum Muslimin sendiri dan
faktor-faktor dari luar mereka, karena adanya kebudayaan lain dan agama yang
bukan Islam.
1. Faktor-faktor
dari dalam
a.
Qur’an sendiri disamping ajakannya
kepada tauhid dan mempercayai kenabian dan hal-hal yang berhubungan dengan itu,
menyingggung pula golongan-golongan dan agama pada masa Nabi Muhammad saw.,
yang mempunyai kepercayaan-kepercayaan yang tidak benar.
b.
Ketika kaum Muslimin selesai membuka
negeri-negeri baru untuk Islam, mereka mulai tenteram dan tenang pikirannya, di
sampaing melimpah-limpahny rezeki. Di sinilah mulai mengemukakan persoalan
agama dan berusaha mempertemukan nas-nas agama yang kelihatannya saling
bertentangan.
c.
Sebab yang ketiga ialah soal-soal
politik. Contoh yang tepat untuk soal ini khilafat (pimpinan pemerintahan
negara). Ketika Rasulullah meninggal dunia, beliau tidak mengangkat seorang
pengganti, tidak pula menentukan pilihan penggantinya. Karena itu antara
sahabat Muhajirin dan Ansar terdapat perselisihan, masing-masing menghendaki
supaya pengganti Rasul dari pihaknya.
2.
Faktor-faktor dari luar
a. Banyak
diantara pemeluk-pemeluk Islam yang mula-mula beragama Yahudi, Masehi, dan
lain-lain, bahkan diantara mereka ada yang sudah menjadi ulamanya. Setelah
pikiran mereka tenang dan sudah memegang teguh agama baru, yaitu Islam, mereka
mulai mengingat-ingat kembali ajaran agamanya yang dulu, dan dimasukkannya ke
dalam ajaran-ajaran Islam.
b.
Golongan Islam yang dulu, terutama
golongan Muktazilah, memusatkan perhatiaannya untuk penyiaran Islam dan
membantah alasan-alasan mereka memusuhi Islam. Dengan demikian, mereka harus
menyelami pendapat-pendapat tersebut dan akhirnya negeri Islam menjadi arena
perdebatan bermacam-macam pendapat dan bermacam-macam agama, hal mana bisa
mempengaruhi masing-masing pihak yang bersangkutan.
c.
Sebagai kelanjutan dari sebab-sebab
tersebut, para mutakalimin hendak mengimbangi lawan-lawannya yang menggunakan
filsafat, maka mereka terpaksa mempelajari logika dan filsafat, terutama segi
ketuhanan. (Hanafi, 1974 :7)
4. Perbedaan antara Filsafat dan
Ilmu Kalam
Kata filsafat berasal dari
bahasa Yunani, dari kata philos artinya cinta dan shopia yang
berarti pengetahuan atau hikmah. Jadi, secara harfiah filsafat berarti
cinta terhadap ilmu pengetahuan. Dalam hubungannya dengan tauhid, mutakallimin
dan filosof mempunyai tujuan yang sama, yaitu ingin menjelaskan apa, siapa dan
bagaimana Allah SWT. Tapi, cara dan jalan yang mereka tempuh berbeda, para
mutakalimin memulai penelitian-penelitiannya dari atas nas-nas agama kemudian
dicari argumentasi rasional untuk mendukung ras-ras itu. Sedangkan
filosof beranjak dari sebaliknya, dimulai dengan teori-teori, kemudian
dicarikan nas-nas yang mendukung teori itu. Secara ringkas dapat dikemukakan
bahwa perbedaan antara ilmu kalam dan filsafat adalah :
a.
Dalam ilmu kalm filsafat dijadikan
sebagai alat untuk membenarkan ayat-ayat Al-Qur’an. Sedangkan dalam filsafat
sebaliknya, ayat-ayat Al-Qur’an dijadikan bukti untuk membenarkan hasil-hasil
filsafat.
b.
Pembahasan dalam ilmu kalam terbatas
pada hal-hal yang tertentu saja. Masalah-masalah yang dimustahilkan Al-Qur’an
mengetahuinya tidak dibahas. Sedangkan dalam filsafat tidak terbatas.( Yusran,
1993 :25)
5.
Perbedaan antara Al-Qur’an dan Ilmu Kalam
Qur’an dalam ajakannya untuk iman
memanggil jiwa hampir setiap manusia, dari yang bersahaja sampai kepada yang
telah maju, mengakui adanyaTuan yang menciptakan alam dan mengaturnya. Dengan
demikain cara Al-Qur’an mengajak manusia untuk bertauhid kepada Allah dengan
memanggil jiwa dan menerima ayat-ayat mutasyabihat. Akan tetapi cara
mutakalimin berbeda dengan cara tersebut. Mereka percaya kepada Allah dan
Rasul-Nya, kemudian mereka hendak membuktikan hal-hal tersebut dengan
dali-dalil akal pikiran. Qur’an menggunakan syle sebagai berikut : Masih
diragukan Tuhan itu, pencipta langit dan bumi ? , dalam membuktikan adanya
Tuhan. Akan tetapi para mutakalimin menggunakn teori tentang baharunya alam
dengan mengatakan bahwa benda-benda itu terdiri dari bagian-bagian yang tidak
terbagi-bagi lagi (atom) dan menetapkan baharunya (non azali) bagian-bagian
tersebut, karena tidak lepas dari gerakan atau diam. (Hanafi, 1974 : 20).[2]
B. KHAWARIJ
Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Nama ini
diberikan untuk golongan yang keluar dari barisan Ali saat perang Shiffin. Nama
lain dari khwarij adalah Syurah yang berarti mengorbankan diri pada
Allah, Haruriyah yang berarti berlindung pada kota Harura’ yaitu tempat
mereka menumpahkan kekesalan terhadap Ali karena ingin berdamai dengan
Muawiyah. Golongan ini semula mendukung Ali namun menjadi berbalik dan memusuhi
Ali.( Asmuni, 1993: 103 )
A. Partai- partai Khawarij
Golongan khawarij tetap dalam satu kesatuan sampai mereka meninggalkan
Abdullah Ibnu Zubair, sebagian pergi ke Bashrah yang sebagian pergi ke Al
Yamamah. Dari para petinggi kaum ini timbul beberapa selisih paham yang
menyebabkan kaum ini pecah menjadi beberapa golongan. Yang terkenal diantaranya
adalah:
1.
Golongan Azariqah
Yaitu golongan pengikut Nafi’ Ibn al Azraq. Merekalah golongan yang
terkuat. Mereka dapat menguasai daerah Ahwaz dan sekitarnya. Mereka
mempengaruhi penduduk setempat agar mengikuti madzhab mereka. Para Nafi’pun
mengeluarkan hukum- hukum berupa:
a.
Semua penduduk yang menentang mereka
dianggap musyrik karena mereka mengajarkan seruan Rasul. Maka orang yang
menentang mereka sama saja menentang Rasul.
b.
Daerahdengan penduduk yang menentang
mereka dipandang Darus Syirki. Diharamkan bagi siapapun menjalin hubungan
dengan mereka.
c.
Para pezina tidak dirajam melainkan
hanya dicambuk. Mereka mewajibkan hukuman bagi yang menuduh wanita berzina,
tetapi tidak untuk sebaliknya.
( Shiddieqy, 1973: 176-177)
2.
Golongan Najdah
Yaitu golongan pengikut Najdah Ibn Amir yang berpisah dari Nafi’. Golongan
ini bermukim di Yaman, Thaif, Amman, Bahrain, Wadi Tamim dan ‘Amir. Tetapi
Najdah mengeluarkan paham baru yang justru membuat pengikutnya hilang dan
membunuhnya. Najdah digantiakan oleh Abu Fudaik dan pecah menjadi 3 partai
yaitu:
a.
Golongan yang tetap bersama Abu
Fudaik yaitu golongan yang membunuh Najdah tahun 72 H.
b.
Golongan yang mengikuti Athiyah Ibn
Al Aswad ke Sijistan. Mereka membolehkan kita menikahi cucu perempuan dari anak
perempuan dan anak- anak perempuan dari anak saudara laki- laki dan saudara
perempuan dengan alasan mereka tidak disebut di Al Qur’an.
c.
Golongan yang memafkan Najdah dan
tetap mengikuti kedudukanya serta mengikuti kekuasaanya setelah dia meninggal.(
Shiddieqy, 1973: 178-181 )
3.
Golongan Ibadliyah
Golongan ini mengeluarkan madzab yaitu orang yang mengerjakan doa besar
tetap dipandang orang yang meng-Esakan Allah tapi bukan mu’min karena tidak
menyempurnakan makna iman. Mereka dinamakan orang kafir ni’mat bukan kafir
millah. Mereka berkata bahwa anak musyrik boleh dibunuh namun mereka masuk
surga atas karunia Allah.
Negara tempat bermukim orang- orang yang menyalahi mereka dinamakan negara
Tauhid. Karenanya boleh nikah menikahi, waris mewarisi, haram membunuh secara
gelap tetapi boleh membunuh secara terang- terangan. Dalam peperangan harta
milik tidak boleh dirampas terkecuali hanya senjata.
Golongan Ibadliyah adalah golongan moderat dan dekat dengan jama’ah
sehingga mereka hidup tenteram karena tidak bertentangan dengan penguasa.(
Shiddieqy, 1973: 182)
4.
Golongan Shaffariyah
Adalah golongan pengikut Abdullah Ibn Saffar. Dinamakan demikian karena
muka mereka pucat- pucat mukanya lantaran banyak beribadat malam dan mereka
menyalahi golongan- golongan yang telah lalu dalam beberapa urusan,
diantaranya:
a.
Orang yang mengerjakan dosa besar
tidak dikenakan hukuman had, seperti orang yang tidak mengerjakan sholat
dianggap kafir. Mereka menganut faham Azariqah tentang hukuman had.
b.
Orang yang tidak ikut bertempur
dengan mereka tidak dikafirkan dalam bidang aqidah. Tidak diperbolehkan untuk
membunuh anak- anak kecil dan bagi para pezina harus dirajam. Mereka dipimpin
oleh Imran Ibn Khattab.
( Shiddieqy ,1973: 183 )
B.
‘Aqidah Khawarij
‘Aqidah yang
kebanyakan dianut golongan khawarij ialah:
1. Khilafah / kepemimpinan tertinggi
bukan hak orang- orang tertentu melainkan harus melalui pemilihan umum. Apabila
khalifah menyimpang wajib dipecat atau dibunuh. Khalifah boleh dari golongan
Quraisy, bahkan lebih baik dari golongan lain agar mudah dipecat.
2. Mengerjakan sholat, berhaji,
berpuasa dan ibadah lain serta menjauhi segala larangan termasuk dari iman.
Orang yang tidak melaksanakan semua itu bukan termasuk mu’min melainkan fasik.
Orang- orang khawarij mempunyai keikhlasan yang sempurna terhadap
‘aqidahnya. Mereka suka berterus terang, tekun beribadah, dan teguh pada
kebenaran juga kesetiaan. Mereka mempunyai keberanian yang luar biasa dalam
menghadapi musuh. ( Shiddieqy, 1973:184 )
C. SYI’AH
a) Pengertian
Syi’ah
Syi’ah berasal dari bahasa Arab, artinya Pengikut atau Golongan. Kata
jamaknya Syiya’un. Dari sini Syi’ah dimaksudkan sebagai suatu golongan dalam
Islam yang beranggapan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. Adalah orang yang
berhak sebagai khalifah pengganti Nabi, berdasarkan wasiatnya. Sedangkan
khalifah-khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan
adalah Penggasab (Perampas) Kedudukan khalifah. Golongan Syi’ah ini
terpadu padanya pengertian firqoh dan mazhab. Sebab mereka beranggapan bahwa
Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan anak keturunannya lebih berhak menjadi
khalifah dari pada orang lain, berdasarkan wasiat Nabi. Masalah khalifah ini
adalah soal politik yang dalam perkembangan selanjutnya mewarnai pandangan
mereka di bidang agama. (Nasir,2010:72)
Ada yang berpendapat, gerakan menokohkan Ali dan menyebarkan isu bahwa
hanya Ali yang berhak menjadi khalifah sudah ada di zaman Utsman bin Affan.
Gerakan tersebut dipelopori oleh Abdullah bin Saba’, rahib Yahudi asal Yaman
yang masuk Islam pada masa pemerintahan Utsman bin Affan tersebut (644-656 M).
Abdullah bin saba’, membentuk gerakan mendukung Ali dan menokohkannya serta
menyebarkan isu bahwa Nabi sebelum wafat telah memberikan wasiat kepada Ali
untuk menggantikan beliau memimpin umat Islam. Karena itu, tiga khalifah (Abu
Bakar, Umar, dan Utsman) sebenarnya tidak berhak menjadi khalifah. Mereka
merampas hak Ali. Untuk menguatkan pendapatnya itu, ia menyebutkan adanya
hadits Ghadir Khum, hadits yang belakangan memang terkenal di kalangan kaum
Syi’ah. Kebenaran dan keabsahan hadits ini tentu saja ditolak oleh non-Syi’ah,
terutama oleh kalangan Ahlussunah Waljamaah. Menurut golongan terakhir ini,
hadits itu tidakbenar dan tidak ada, hanya dibuat-buat oleh kaum Syi’ah untuk
memperkuat klaim mereka akan hak Ali bin Abi Thalib menduduki jabatan khalifah.
Pada zaman Abu Bakar dan Umar, bahkan ketika terjadi perdebatan sengit antara
kaum Muhajirin dan Anshar di Saqifah Bani Sa’idah untuk menentukan pengganti
Nabi memimpin umat Islam, hadits ini tidak pernah disebut-sebut. Andaikata
hadits Ghadir Khum memang ada, tentu ketika itu banyak yang meriwayatkannya dan
tidak akan terjadi perdebatan sengit di kalangan sahabat.(Asmuni, 1993:130-131)
b) Pokok-pokok
Pikiran Syi’ah
Kaum Syi’ah memiliki lima prinsip utama yang wajib dipercayai oleh
penganutnya. Kelima prinsip itu adalah:
Al-Tauhid
Kaum Syi’ah mengimani sepenuhnya
bahwa Allah itu ada, Maha Esa, tunggal, tempat bergantung segala makhluk, tidak
beranak dan tidak diperanak, dan tidak seorang pun serupa dengan-Nya. Mereka
juga mempercayai adanya sifat Tuhan. Menurut mereka, sifat-sifat Allah terbagi
kepada dua bentuk. Pertama, sifat al-tsubutiyyah, sifat yang mesti ada
dan tetap pada Allah. Kedua, sifat al-salbiyah, sifat yang tidak mugkin
ada pada Tuhan dan wajib diingkari.
Al-‘Adl
Kaum Syi’ah mempunyai kkeyakinan
bahwa Allah Maha Adil. Allah tidak melakukan perbuatan dzalim dan perbuatan
buruk seperti berdusta dan memberikan beban yang tak dapat dipikul manusia.
Menurut kaum Syi’ah, semua perbuatan yang dikerjakan Tuhan ada maksud dan
tujuan tertentu yang ingin dicapai.
Al-Nubuwwah
Kepercayaan Syi’ah terhadap
keberadaan Nabi juga tidak berbeda dengan kaum muslimin yang lain. Menurut
mereka Allah mengutus sejumlah Nabi dan Rasul ke muka bumi untuk membimbing
umat manusia. Rasul-rasul itu memberikan kabar gembira (Mubasysyirin) bagi orang
yang mentauhidkan Allah dan melakukan amal shaleh dan kabar siksa/ancaman
(Mundzirin) bagi orang yang mengingkari Allah dan durhaka.
Al-Imamah
Imamah merupakan masalah penting
bagi kaum Syi’ah. Bagi mereka, Imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama
dan dunia sekaligus. Ia pengganti Rasul dalam memelihara syariat, melaksanakan
Hudud (had/hukuman terhadap pelanggar hukum Allah), dan mewujudkan kebaikan dan
ketentraman umat. Bagi kaum Syi’ah, yang berhak menjadi pemimpin umat adalah Imam.
Al-Ma’ad
Secara harfiah al-ma’ad berarti
tempat kembali. Yang dimaksud disini ialah hari kiamat. Kaum Syi’ah percaya
sepenuhnya akan adanya hari akhir, bahwa hari akhir itu pasti terjadi. Pada
hari kiamat nanti, mausia itu akan menghadap Allah, untuk mempertanggungjawabkan
segala perbuatan yang dilakukan di dunia. Semua perbuatannya akan
diperhitungkan, besar, kecil, nampak, maupun tersembunyi. Pada hari akhir itu
pula, Tuhan akan memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan taat
kepada-Nya karena ketaatannya itu, dan menyiksa orang yang maksiat karena
kemaksiatannya.
(Asmuni, 1993:131-135)
D. MURJIAH
a.
Sejarah Timbulnya
Menurut al-Syahrastani, Husain bin
Muhammad bin Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang menyebut irja’.
Akan tetapi hal ini belum menunjukkan bahwa ia adalah pendiri Murji’ah. Term
Murji’ah memberikan pengertian “menangguhkan hukum perbuatan seseorang sampai
di hadapan Allah SWT”. Golongan ini memang berpendapat bahwa muslim yang
berbuat dosa besar tidak dihukumkan kafir, tetapi tetap mukmin. Mengenai dosa
besar yang dilakukannya, diserahkan kepada keputusan Allah nanti.
Hal-hal yang
melatarbelakangi kehadiran Murji’ah antara lain :
a.
Adanya perbedaan pendapat antara
orang-orang Syi’ah dan Khawarij; mengkafirkan pihak-pihak yang ingin merebut
kekuasaan Ali dan mengkafirkan orang yang terlihat dan menyetujui tahkim dalam
perang Shiffin.
b.
Adanya pendapat yang menyalahkan
Aisyah dan kawan-kawan yang menyebabkan terjadinya perang Jamal.
c.
Adanya pendapat yang menyalahkan
orang yang ingin merebut keuasaan Usman bin Affan. (Asmuni, 1993 : 105-106)
b.
Ajaran-ajaran Murji’ah
Ajaran-ajaran pokok Murji’ah dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1.
Iman hanya membenarkan (pengakuan)
di dalam hati.
2.
Orang Islam yang melakukan dosa
besar tidak dihukumkan kafir. Muslim tersebut tetap mukmin selama ia mengakui
dua kalimat syahadat.
3.
Hukum terhadap perbuatan manusia
ditangguhkan hingga hari kiamat.
Sebagai
konsekuensi dari ajaran ini, lahir beberapa pendapat, antara lain :
1.
Keimanan merupakan pokok ajaran, sedangkan amal adalah hal yang nomor dua. Amal
tidak berpengaruh kepada iman.
Ajaran ini di kemudian hari menimbulkan kesan yang tidak baik di kalangan
Murji’ah sendiri. Ajaran ini memberi ruang lingkup gerak yang lebih luas bagi
umat Islam. Mereka tidak perlu khawatir dicap kafir. Tetapi, ajaran ini
mengaburkan identitas keimanan seseorang karena iman itu tidak tercermin dalam
sikap dan perbuatan. Padahal, iman dan amal merupakan dua komponen ajaran Islam
yang tak terpisahkan, dan agama merupakan misi untuk membina kepribadian
seseorang.
2. Orang
yang berbuat dosa besar masih mempunyai harapan memperoleh rahmat dan ampunan.
Ia masih mukmin, tidak kafir.
Ini
merupakan suatu sikap yang lunak terhadap orang yang melakukan perbuatan
maksiat dan bisa berakibat fatal, yaitu berkembangnya suatu kehidupan
masyarakat yang serba bebas, terlepas dari nilai dan norma-norma. (Asmuni, 1993
: 106-107)
c. Tokoh dan
Sekte dalam Murji’ah
Pemimpin utama mazhab Murji’ah ialah Hasan bin Bilal al-Muzni, Abu
Sallat al-Samman, dan Dirar bin Umar. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi
perbedaan pendapat di kalangan pengikut Murji’ah, sehingga aliran ini pecah
menjadi beberapa sekte, ada yang moderat, ada pula yang ekstrem. Sebenarnya,
dalam Murji’ah tidak ada sekte dalam arti yang sebenarnya. Yang ada hanya
pendapat pribadi yang didukung oleh yang lain.
Tokoh Murji’ah yang moderat antara
lain adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib. Ia bependapat,
bagaimanapun besarnya dosa seseorang, kemungkinan mendapat ampunan dari
Tuhan masih ada. Sedangkan yang ekstrem antara lain ialah kelompok
Jahmiyah, pengikut Jaham bin Shafwan. Kelompok ini berpendapat, sekalipun
seseorang menyatakan dirinya musyrik, orang itu tidak dihukumkan kafir.
Al-Syahrastani membagi
kelompok-kelompok Murji’ah ini menjadi empat, yaitu :
1. Murji’ah Khawarij
2. Murji’ah Qadariah
3. Murji’ah Jabariah
4. Murji’ah Asli
Sebagai sebuah aliran dalam teologi
Islam, Murji’ah, baik yang moderat maupun yang ekstrem sudah tidak ada lagi.
Aliran ini lenyap bersama dengan tumbangnya dinasti Bani Umayyah (750 M).
Meskipun demikian, beberapa ajaran dan pendapatnya masih ada dianut oleh kaum
muslimin dewasa ini, seperti ajaran tentang iman, kufur, dan dosa besar.
Ajaran-ajaran mereka tersebut terserap dalam ajaran Ahlussunnah Waljamaah.
(Asmuni, 1993 : 107-108).[3]
Ilmu kalam, filsafat,
dan tasawuf mempunyai kemiripan Objek kajian. Objek kajian ilmu kalam adalah
ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Objek kajian filsafat
adalah masalah tuhan disaamping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang
ada. Sementara itu objek kajian tasawuf aadalah Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadap-Nya.jadi,
dilihat dari aspek objeknya, ketiga ilmu itu membahas masalah yang berkaitan
dengan ketuhanan.[4]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Ilmu kalam ialah ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan (Allah ),
sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang tidak ada pada-Nya dan
sifat-sifat mungkin ada pada-Nya dan membicarakan tentang Rasul-rasul Tuhan,
untuk menetapakan kerasulannnya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada
padanya, sifat-sifat yang tidak mungkin padanya dan sifat-sifat yang mungkin
terdapat padanya. Dalam ilmu kalam terdapat
beberapa aliran, yaitu aliran khawarij, syi’ah, murji’ah, dan lain-lain. Adapun
faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya aliran ilmu kalam yaitu faktor dari
dalam ( dari dalam islam dan kaum muslimin ) dan faktor dari luar.
B.
SARAN
Penulis
sangat menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih belum sempurna.Penulis
sangat membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun,untuk kesempurnaan
makalah ini, dengan meningkatkan wawasan dan pengetahuan kita tentang “Sejarah Timbulnya Pemikiran
Kalam Di Era Klasik”.
DAFTAR
PUSTAKA
http://henker17.blogspot.com/2012/09/makalah-perkembangan-pemikiran-ilmu.html
http://filsafat.kompasiana.com/2012/01/26/antara-falsafah-dan-kalam-literatur-klasik-pemikiran-islam-430279.html
ConversionConversion EmoticonEmoticon