|
MAKALAH
tentang kebijakan socrates
tentang kebijakan socrates
|
|
DISUSUN OLEH :
1.DEDE TRI NOPRAN
2. DELPA PITRIKA
3. SEPTA DARMA GUMAY
4. YUNI OKTAVIANI
1.DEDE TRI NOPRAN
2. DELPA PITRIKA
3. SEPTA DARMA GUMAY
4. YUNI OKTAVIANI
KEMENTRIAN
AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU
JL.Raden fattah Pagar Dewa kota Bengkulu
Fakultas Syariah dan Ekonomi islam
Prodi Eonomi Syariah
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU
JL.Raden fattah Pagar Dewa kota Bengkulu
Fakultas Syariah dan Ekonomi islam
Prodi Eonomi Syariah
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga bisa menyusun makalah ini tepat pada waktunya yang berjudul“.......................................”.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga bisa menyusun makalah ini tepat pada waktunya yang berjudul“.......................................”.
Makalah ini berisikan informasi tentang
“...................................................” kami menyadari
bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna , oleh karena itu kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
keseempurnaan makalah ini.
Akhir kata , kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak
yg telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Semoga Allah SWT senantiasa meridohi segala usaha kita. Aaaamiiiinn.
penulis, september2014
DAFTAR
ISI
Judul...........................................................................................................i
Kata pengantar............................................................................................ii
Daftar isi.....................................................................................................iii
Daftar isi.....................................................................................................iii
BAB 1
Pendahuluan
A. latar belakang.......................................................................................
B.Tujuan ..................................................................................................
C. Manfaat................................................................................................
Pendahuluan
A. latar belakang.......................................................................................
B.Tujuan ..................................................................................................
C. Manfaat................................................................................................
BAB II
Pembahasan..............................................................................................
Pembahasan..............................................................................................
a. Dunia
bayang-bayang: the story of the caveman
b. Metode
socratic
c. Kebenaran
universal
BAB III
Penutup............................................................................................................
Daftar pustaka..................................................................................................
Penutup............................................................................................................
Daftar pustaka..................................................................................................
A. Sokrates
Kaum sofis yang dikenal dengan kemahirannya dalam
olah penggunaan bahasa terutama melalui retorikanya, senantiasa aktif
mengembangkan dan mengangkat masalah-masalah filsafat untuk diperdebatkan
secara kritis. Kaum sofis inilah yang membawa perubahan terhadap corak pemikiran
filsafat di yunani yang semulanya terarah pada kosmos menjadi terarah pada
teori pengetahuan dan etika (Hatta, 1980 : 54).
Sejalan dengan sifat kaum sofis yang
dalam arena perdebatan filsafat tidak mudah menyerah, maka muncullah persoalan
dasar-dasar teori pengetahuan dan etika. Dalam diskusi filsafat mereka tidak
memiliki kesepakatan tentang dasar-dasar umum yang berlaku bagi kedua teori
tersebut. Mereka hanya mencapai kesepakatan mengenai satu hal kebenaran yang
sesungguhnya tidak mungkin dapat tercapai, yaitu segala kebenarannya.
Menanggapi kondisi kacau akibat
kelicinan kaum sofis tersebut, sokrates merasa terpanggil untuk meluruskannya
dengan suatu metode ‘dialektis-kritis’. Proses dialektis-kritis dalam hal ini
mengandung suatu pengertian “dialog antara dua pendirian yang bertentangan atau
merupakan perkembangan pemikiran dengan memakai pertemuan (interplay) antar ide
(Titus,1984 : 17).
Socrates
dalam menerapkan metode dialektis kritis itu tidak begitu saja menerima suatu
pengertian sebelum dilakukan pengujian-pengujian untuk membuktikan benar atau
salahnya. Oleh karena itu ia selalu meminta penjelasan –penjelasan tentang
sesuatu pengertian dari orang yang dianggap ahli dalam bidangnya misalnya ia
bertanya kepada seniman tentang apa yang dimaksud dengan “keindahan” , kepada
seorang panglima tentang makna “keberanian”, dan kepada seorang pemimpin
tentang makna “keadilan” dan lain sebagainya (Bakker, 1984 : 28). Setelah
diperoleh penjelasan dari ahlinya, kemudian sokrates mengajukan serangkaian pertayaan
mengenai dasar-dasar pemikiran para ahli itu tentang apa alasan mereka sehingga
memiliki pandangan yang demikian. Jadi sokrates senantiasa menuntut para ahli
untuk mempertangung jawabkan pengetahuannya dengan alasan yang benar. Apabila
diperoleh suatu jawaban yang memang benar yang didukung oleh alasan yang benar,
maka ide yang telah teruji tadi diterimanya sebagai pengetahuan yang benar
untuk sementara sebelum dilakukan pengujian lebih lanjut melalui metode komparasi(perbandingan).
Akan tetapi jikalau lawan dialog itu tidak
mampu mengajukan argumentasi yang benar mengenai pengertian yang diungkapkannya
, maka ide yang dilontarkan akan disisihkan oleh sokrates, karena dianggapnya
tidak mencerminkan realitas yang sesungguhnya. Dengan menggunakan metode
dialektis kritis inilah nampaknya sokrates mampu mengatasi kemelut filosofis
melalui pedebatan yang ketat. Kaum sofis yang lazimnya, tidak begitu saja mudah
menyerah dengan kefasihannya dalam setiap perdebatan ternyata mengakui keuletan
dan akurasi metode sokrates dalam menjelaskan makna melalui analisis bahasanya
dialektis kritis. Dengan metode itu tujuan utama sokrates adalah untuk
menjernihkan berbagai problema filosofis yang selama ini didikacaukan oleh kaum
sofis. Dapat pula dikatakan bahwa dengan
metode dialektis kritis ini sokrates melakukan penyembuhan (therapy) , yang
terjadi dalam bidang dalam bidang filsafat
pada masa itu, terutama yang ditimbulkan oleh kaum sofis. Metode therapy
yang dilakukan oleh sokrates terhadap kekacauan makna yang merupakan penyakit
kronis yang ditimbulkan oleh kaum sofis ini nampaknya juga dilakukan oleh para
filsuf analitik dalam menyemuhkan obrolan omong songnya kaum idealisme yang
dianggapnya tidak bermakna.(muntansyir, 1987 : 20).
Metde
yang digunakan oleh sokrates dengan metode yang dikembangkan oleh kaum sofis
dengan retoriknya memang terdapat perbedaan yang sangat tajam, namun demikian
keduanya memiliki kesamaan yaitu menjelaskan konsep-konsep filosofis melalui
bahasa.
Sokrates
plato menyediakan bibit bagi pandangan kaum stoa dan kaum sinis. Kaum stoa
berpandangan bahwa kebaikan tertinggi adalah keutamaan, dan bahwa manusia tak
dapat terceraikan dari keutamaan oleh sebab-sebab diluar dirinya;doktrin ini
telah terkandung secara implisit dalam pernyataan sokrates bahwa para hakim tak
dapat menyakiti dirinya. Kaum sinis mencela benda-benda duniawi, dan
menunjukkan sikap berpantangnya itu dengan menjauhkan diri dari kenikmatan
hidup yang ditawarkan peradaban; pandangan ini sepadan dengan sikap sokrates
yang senantiasa bertelanjang kaki dan berpakaian gembel.
Tampak
jelas bahwa pandangan sokrates lebih bercorak etis daripada ilmiah. Seperti
telah kita simak, dalam apology ia mengatakan: “Aku tak punya urusan dengan
pemikiran-pemikiran tentang alam.” Karya –karya dialog plato yang paling awal,
yang umumnya dianggap paling mendekati pandangan sokrates, isinya terutama
adalah upaya mentapkan definisi-definisi peristilahan etis. Charmides berisi
upaya mendefinisikan kesederhaan atau sikap tahu batas; Lysis membahas persahabatan;
Laches mengulas keberanian. Dari semua dialog itu tak satupun yang menghasilkan kesimpulan, namun sokrates
menjelaskan bahwa mengkaji persoalan yang demikian itu penting dilakukan. Sokratesnya plato selalu
menekankan bahwa ia tidak tahu apa-apa, dan lebih bijaksana dibandingkan orang
lain hanya karena dia tahu bahwa dirinya taktahu apa-apa; namun dia tak
berpendapat bahwa pengetahuan tak bisa diperoleh. Sebaliknya ia berpendapat
bahwa mencari pengetahuan adalah upaya terpenting. Menurut Sokrates tak ada
manusia yang berbuat dosa dengan sengaja, dan karena itu hanya pengetahuanlah
yang diperlukan semua manusia untuk mencapai kesalehan yang sempurna.
Kaitan
erat antara keutamaan dan pengetahuan adalah ciri khas filsafat sokrates dan
plato. Hingga taraf tertentu, pandangan ini terkandung dalam semua pemikiran
yunani.
Metode Filsafat Socrates
Dalam
menjalani hidupnya sebagai seorang filsuf, Socrates menggunakan metode-metode
yang membantunya, beberapa metode tersebut adalah sebagai berikut :
1. Dialektika
Metode yang digunakan
Socrates biasanya disebut dialektika dari kata kerja Yunani dialegesthai yang
berarti bercakap-cakap atau berdialog yang mempunyai peran penting didalamnya13.
Menurut
Socrates Dialog adalah “wahana” berfilsafat. Jadi dialog itu “membuka” pikiran,
“mencairkan” kebekuan pikiran, “melahirkan” pikiran dan “menuntut” perjalanan
pikiran14.
Dalam
metode ini Socrates mendatangi bermacam-macam orang (ahli politik, pejabat, dan
lain-lainnya). Kepada mereka mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang mengenai
pekerjaan mereka, hidup mereka sehari-hari dan lain-lainnya. Kemudian jawaban
mereka pertama-tama dianalisa dan disimpulkan dalam suatu hipotesa. Hipotesa
ini dikemukakan lagi kepada mereka dan dianalisa lagi. Demikian seterusnya
sehingga ia mencapai tujuannya, yaitu : membuka kedok segala peraturan hukum
yang semu, sehingga tampak sifatnya yang semu, dan mengajak orang melacak atau
menelusuri sember-sember hukum yang sejati. Supaya tujuan itu tercapai
diperlukan suatu pembentukan yang murni.
2.
Maieutika
Maieutika
sering juga disebut dengan istilah metode kebidanan, karena dengan cara ini
Socrates bertindak seperti seorang bidan yang menolong kelahiran seorang bayi
“pengertian yang benar”15.
Maksudnya
adalah Socrates menggunakan metode ini untuk membantu orang-orang mengetahui
kebenaran dan jati dirinya.
Dengan
cara bekerja yang demikian, Socrates menemukan suatu cara berfikir yang disebut
induksi, yaitu: menyimpulkan pengetahuan yang sifatnya umum dengan berpangkal
dari banyak pengetahuan tentang hal yang khusus. Umpamanya : banyak orang yang
menganggap keahliannya (sebagai tukang besi, tukang septum dll) sebagai
keutamaannya. Seorang tukang besi berpendapat bahwa keutamaannya ialah jikalau
ia membuat alat-alat dari besi yang baik.
Untuk
mengetahui apakah “keutamaan” pada umumnya, semua sifat khusus
keutamaan-keutamaan yang bermacam-macam itu harus disingkirkan dan tinggal yang
umum. Demikian dengan induksi akan ditemukan apa yang disebut definisi umum.
Socrates
adalah orang yang menemukan, dan ternyata penting sekali artinya bagi ilmu
pengetahuan.
3.
Ironi
Kata
ironi berasal dari bahasa yunani yang bermakna bersikap pura-pura, cara
seseorang berbicara, pura-pura menyetujui apa yang dikatakan oleh lawan
bicaranya, tetapi dengan senyuman, mimik dan sebagainya menyangkal pendapat
orang itu. Oleh Socrates dipergunakan untuk membimbing lawan bicaanya kepada
kebenaran16.
Socrates
seringkali berpura-pura bertanya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
sengaja dimaksudkan untuk membingungkan orang-orang terutama para kaum sofis.
Karena jawaban-jawaban atas pertanyaan itu menjadi saling bertentangan,
sehingga para penjawab ditertawakan orang banyak.
Segi
positif dari metode ironi ini terletak dalam usahanya untuk mengupas kebenaran
dari kulit “pengetahuan semu” orang-orang
tersebut.
D.
Etik Socrates
Etika
(Etimologik), berasal dari kata Yunani “Ethos” yang berarti
kesusilaan atau adat.
Identik dengan perkataan moral yang berasal dari kata Latin “Mos” yang dalam
bentuk jamaknya “Mores” yang berarti juga Adat atau Cara hidup17.
Etika juga dapat disebut dengan filsafat moral
Etika
dan moral sama artinya, tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit
perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai,
sedangkan Etika dipakai untuk mengkaji sistem nilai-nilai yang ada.
Pandangan
Socrates mengenai kebijakan, yakni apa yang benar dan apa yang baik, bisa
dinamakan filsafat moral rasionalistik. Filsafat moral rasionalistik
merupakan pandangan yang menganggap pemikiran atau rasionalitas sebagai factor
eksekutif atau domain dalam tingkah laku bermoral19.
Budi
ialah tahu, kata Socrates. Inilah intisari dari pada etiknya. Orang yang
berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Paham etiknya itu kelanjutan
dari pada metodenya. Induksi dan definisi menuju kepada pengetahuan yang
berdasarkan pengertian. Dari mengengetahui beserta keinsyafan moril tidak boleh
tidak mesti timbul budi20.
Oleh
karena itu badi adalah tahu, maka siapa yang tahu akan kebaikan dengan
sendirinya terpaksa berbuat baik.
Menurut
Socrates, manusia itu pada dasarnya baik. Seperti dengan segala barang yang ada
itu ada tujuannya, begitu juga hidup manusia21.
Dari
pandangan etik yang rasionil itu Socrates sampai kepada sikap hidup yang penuh
dengan rasa keagamaan. Sering pula dikemukakannya bahwa Tuhan itu dirasai
sebagai suara dari dalam yang menjadi bimbingan bginy dalam segala
perbuatannya. Itulah yan disebut daimonion dan semua orang yang mendengarkan
suara daimonion itu dari dalam jiwanya apabila ia mau.
Kesimpulan
Rasionalisme Socrates
adalah suatu kebenaran dan kebenaran itu adalah segala sesuatu yang bersifat
0bjektif. Objektif dapat diartikan segala sesuatu yang bersifat umum dan dapat di terima oleh semua orang dan
anggapan semua orang itu sama terhadap suatu pengertian.
Dalam jalan pemikiran
Socrates ini, dapat disimpulkan bahwa tugas manusia adalah untuk menjaga
keselamatan jiwa lebih berharga dibanding dengan raga.
Jiwa bukan sekedar
nyawa manusia, melainkan suatu azas hidup dalam arti yang lebih dalam yakni
hakikat manusia sebagai pribadi yang bertanggung jawab.
Apabila manusia hanya
sekedar hidup tidak ada artinya melaikan hidup secara baik dan bemanfaat begi
orang lain. Untuk mencapainya, manusia harus mempunyai penglihatan dalam yang
murni. Jika ia melakukan hal yang salah, maka ada yang tidak beres pada
penglihatan tersebut. Maka yang paling pokok adalah membuat manusia mempunyai
penglihatan dalam yang benar.[1]
Daftar Pustaka
-
Hatta, Mohammad.1986.ALAM PIKIRAN YUNANI,Jakarta:Timtamas
-
Dick, Hartoko.2002.Kamus Populer Filsafat.Jakarta:PT.Rajagrafindo Persada
-
T.Z.Lavine.2002.Petualangan
Filsafat dari Socrates ke Sartre.Yogyakarta:Jendela
-
Drs. Achmad Charris Zubair. 1995.Kuliah Etika.Jakarta:PT.Rajagrafindo
Persada
-
Prof. Dr. Ahmad Tafsir.2010.Filsasfat Umum, Akal
dan Hati Sejak Thales sampai Capra.Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
-
Maksum, Ali.2011.Pengantar Filsafat dari Masa
Klasik Hingga Post Modernisme.Yogyakarta:Ar.Ruzz
Media
-
Bambang Q. Anees & Rudia Juli A. Hambali.2003.Filsafat Untuk Umum.Jakarta
Timur:Kencana
1.
Ali Maksum, Pengantar
Filsafat, dari Masa Klasik Hingga Post Modernisme (Yogyakarta:Ar.Ruzz Media,
2011) hlm.62
2.
Prof. Dr. Ahmad
Tafsir, Filsasfat Umum , Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra(Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2010) hlm 54-55
4.
Dick Hartoko, Kamus
Populer Filsafat (Jakarta:PT.Rajagrafindo Persada,2002),hlm.41
5.
.Drs.
Achmad Charris Zubair,Kuliah Etika (Jakarta:PT.Rajagrafindo Persada,1995).hlm.13
6.
Dick Hartoko, Kamus
Populer Filsafat (Jakarta:PT.Rajagrafindo Persada,2002),hlm.23
7.
T.Z.Lavine,
Petualangan Filsafat dari Socrates ke Sartre (Yogyakarta:Jendela,2002),hlm.12
8.
Mohammad Hatta, Alam
Pikiran Yunani (Jakarta: Tintamas, 1986) hlm.83-84
9.
ConversionConversion EmoticonEmoticon