PEMBAHASAN
A. Bentuk-bentuk
hadits
1. Hadis Qauli
Yang dimaksud hadis Qauli adalah segala
yang disandarkan kepada Nabi SAW yang berupa perkataan atau ucapan yang memuat
berbagai maksud syara’, peristiwa, dan keadaan, baik yang berkaitan dengan
aqidah, syariah, akhlak, maupun yang lainnya. Salah satu contoh hadis qauli
adalah hadis tentang bacaan shalat al-fatihah dalam shalat yang berbunyi:
“Tidak sah shalat seseorang yang tidak
membaca Fatihah Al-kitab”. (HR. Muslim).
2.
Hadis
fi’li
Yang dimaksud dengan hadis Fi’li adalah
segala yang disandarkan Nabi SAW berupa perbuatannya yang sampai kepada kita.
Seperti hadis tentang shalat. Contoh hadis Fi’li tentang shalat adalah sabda
nabi SAWyang berbunyi:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian
melihat aku shalat”. (HR. Bukhari).
3.
Hadis
Taqriri
Yang dimaksud hadis Taqriri, adalah segala hadis
yang berupa ketetapan Nabi SAW terhadap apa yang datang dari sahabatnya.Nabi SAW
membiarkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat, setelah memenuhi
beberapa syarat baik mengenai pelakunya maupun perbuatannya. [1]
Diantara beberapa contoh hadis Taqriri, ialah sikap
Rasul SAW membiarkan para sahabat melaksanakan perintahnya, sesuai dengan
penafsirannya masing-masing sahabat terhadap sabdanya, yang berbunyi:
“janganlah seorangpun shalat ‘Ashar kecuali di Bani
Quraizah”.
Sebagian sahabat memahami larangan tersebut
berdasarkan pada hakikat perintah tersebut, sehingga mereka tidak melaksanakan
shalat Ashar pada waktunya. Sedang segolongan sahabat lainnya memahami perintah
tersebut dengan perlunya segera menuju Bani Quraizhah dan jangan santai dalam
peperangan, sehingga bisa shalat tepat pada waktunya. Sikap para sahabat ini
dibiarkan oleh Nabi SAW tanpa ada yang disalahkan atau diingkarinya.
4.
Hadis
Hammi
Hadis
hammi adalah hadis yang berupa hasrat Nabi SAW yang belum terealisasikan,
seperti halnya hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura. Dalam riwayat ibn Abbas,
disebutkan sebagai berikut:
“ketika
Nabi SAW berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk
berpuasa, mereka berkata: Ya Nabi! Hari ini adalah hari yang diagunfkan oleh
orang-orang yahudi dan nasrani. Nabi SAW bersabda: tahun yang akan datang
insya’Allah aku akan berpuasa pad hari kesembilan “. (HR. Muslim).[2]
Nabi
SAW belum sempat merealisasikan hasratnya ini, karena wafat sebelum sampai
bulan ‘Asyura. Menurut Imam Syafi’i dan para pengikutnya, bahwa menjalankan
hadis Hammi ini disunahkan sebagimana menjalankan sunnah-sunnah yang lainnya.
5.
Hadis
Ahwali
Yang dimaksud dengan hadis Ahwali ialah
hadis yang menyangku keadaan fisik, sifat-sifat, dan kepribadiannya. Tentang
keadaan fisi Nabi SAW, dalam beberapa
hadis disebutkan, bahwa fisiknya tidak terlalu tinggi dan tidak pendek,
sebagaimana yang dikatakan oleh al-Barra dalam sebuah hadis riwayat Bukhari,
sebagai berikut:
“Rasul SAW adalah manusia yang
sebaik-baiknya rupa dan tubuh. Keadaan fisiknya idak tinggi dan tidak pendek”.
(HR Bukhari).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa pembagian hadis ditinjau dari bentuknya terbagi menjadi 5, yaitu hadis
Qauli, hadis Fi’li, hadis Taqriri, hadis Hammi, dan hadis Ahwali. [3]
B. SIFAT-SIFAT
HADIS
1. Hadits Mu’an’an
a. Pengertian
Dari segi bahasa mu’an’an isim maf’ul
dari kata yang
berarti dari kata ‘an =dari dan ‘an=dari. Menurut istilah hadits mu’an’an
adalah “hadits yang disebutkan dalam
sanadnya diriwayatkan oleh si fulan, dari si fulan, dengan tidak menyebutkan
perkataan memberitakan, mengabarkan, dan atau mendengar. “
Jadi hadis Mu’an’an adalah hadits yang
dalam periwayatannya hanya menyebutkan sanad dengan kata ‘an fulan= dari si
fulan, tidak menyebutkan ungkapan yang tegas bertemu dengan syaikhnya, misalnya
menggunakan kata Haddatsana/ni= memberitakan kepada kami/ku si fulan,
Akhabarana/ni= Mengkhabarkan kepada kami/ku, tau Sami’tu = Aku mendengar, dan
seterusnya yang menunjukkan bertemu (ittishal). [4]
b.
Contoh
Hadis Mu’an’an:
“Memberitahukan
kepada kami A-Hasan bin Arafah, memberitahukan kepada kami Ismail bin Iyasy dari
yahya bin Abu Amru Asy syabani dari Abdullah bin Ad-Daylami berkata:
Aku mendengar Abdullah bin Amr, Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
sesungguhnya Allah Swt menciptakan mahluk-Nya dalam keadaan gelap (kebodohan).
Kemudin dia sampaikan kepada mereka diantara cahaya-Nya. (HR. At-tirmidzi).
Periwayatan yang digaris bawahi diatas menggunakan
kata ‘an= dari, tidak seperti penyebutan kalimat sebelumnya yang menggunakan
kata Haddatsana= memberitakan kepada kami...., maka tergolong hadis Mu’an’an.
c.
Hukum
pengamalan Hadis
Hukum Mu’an’an apakah tergolng hadis
muttashil atau munqathi’?. Para ulama bebeda pendapat tentang hadis ini.
Diantara mereka berpendapat bahwa hadis ini tergolong Munqathi’ (terputus
Sanadnya), tidak dapat diamalkan sehngga ada penjelasan kemuttashil-annya.
Pendapat yang kuat pendapat mayoritas ulama, baik dari kalangan ulama hadis,
ulama fiqh, maupun ulama ushul menerima hadis ini dan dihukumi muttashil dengan
dua syarat, yaitu sebagai berikut.
1).
Periwayat yang menggunakan an’ = dari (mu’an’in) tidak mudallis (tidak seorang
yang menyembunyikan cacat).
2).
Periwayat yang menggunakan ‘an = dari (Mu’an’in) bartemu atau mungkin bertemu
dengan orang yang meyampaikan hadis kepadanya.
Al-Bukhari dan Al-Madini mensyaratkan
dua persyaratan diatas, yaitu periwayat yang menggunakan ’an=dari
(Mu’an’in) tidak mudallis dan mungkin
bertemu. Sedangkan Muslim mensyaratkan seorang perawi hadis yang menggunakan
‘an = dari (Mu’an’in) semasa hidupnya dengan orang yang menyampaikan hadis
kepadanya, tidak ada syarat yakin adanya pertemuan antara kedua orang priwayat
tersebut. Abu Al-muzhaffar As-Sam’ani mensyaratkan adanya pesahabatan yang
relatif lama dan Abi ‘Amr Ad dani mensyaratkan adanya pengetahuan periwayatan
darinya. Jika dua persyaratan diatas tidak dipenuhi, maka tidak muttshil. [5]
2.
Hadis
Muannan
a.
Pengertian
Menurut bahasa, kata muannan berasal
dari kata yang
berarti menggunakan kata dan =bahwasanya, sesungguhnya. Menurut istilah,
hadis muannan adalah
Yaitu hadis yang dikatakan dalam
sanadnya memberitakan kepada kami bahwasanya si fulan memberitakan kepadanya
begini.
b. Contoh
Hadis Muannan
“Memberitakan Malik dari ibnu Syihab
bahwasanya Sa’id bin Al-Musayyab berkata begini”.
c. Hukum Hadis Muannan
Dikalangan ulama terjadi perbedaan
pendapat tentang hukum hadis Muannan, diantara mereka berpendapat bahwa hadis
muannan tergolong munqthi’. Sedangkan mayoritas ulama berpendapat tentang hukum
hadis muannan dihukumi muttashil, sama dengan hadis mu’an’an diatas asal
memenuhi dua persyaratan diatas.
Abu Al-Asybal menegaskan bahwa hadis
muannan jika seorang perawi yang menggunakan kata anna =bahwasanya (muannin)
tidak semasa dengan orang yang menyampaikannya, atau semasa, tetapi tidak
pernah bertemu, maka periwayatannya dihukumi munqathi’ dan tidak dapat
diterima. Atau seorang perawi yang menggunakan anna = bahwasanya (muannin)
semasa hidupnya dengan yang menyampaikan berita, tetapi tidak diketahui apakah
ia bertemu atau tidak, atau dketahui, tetapi ia seorang penyembunyi cacat
(mudallis), maka ditangguhkan (tawaqquf) hingga dapat diketahui ke
muttashil-annya.
3.
Hadis
Musalsal
a.
Pengertian
Menurut bahasa, Musalsal berasal dari
kata yang
berarti berantai dan bertali-menali. Hadis ini dinamakan musalsal karena ada
kesamaan dengan rantai (sisilah) dalam segi pertemuan pada masing-masing
perawi, atau ada kesamaan dalam bagian-bagiannya. dalam istilah hadis Musalsal
adalah:
Keikutsertaan para perawi dalam sanad
secara berturut-turut pada satu sifat atau pada satu keadaan, terkadang bagi
periwayatan.
Lebih luas Al-Iraqi meberikan definisi
musalsal adalah hadis yang perawinya dalam sanad berdatangan satu persatu dalam
satu bentuk keada-an atau dalam satu sifat, baik sifat perawi maupun sifat
penyandaran, maupun berkaitan dengan waktu dan tempatnya,baik keadaan para
perawi maupun sifat-sifat mereka, dan baik perkataan maupun perbuatan
Jadi, hadis musalsal adalah hadis yang
secara berturut-turut sanadnya sama dalam satu sifat atau dalam satu keadaan
dan atau dalam satu periwayatan. [6]
b.
Macam-macam
musalsal
Dari
definisi diatas musalsal dapat dibagi kepada beberapa macam yaitu:
1) Musalsal keadaan perawi,
musalsal ini terkadang dalam perkataan (qauli), perbuatan(fi’li), atau
keduanya(qauli dan fi’li).
2)
Musalsal sifat periwayat, musalsal
ini dibagi menjadi menjadi perkataan(qauli) dan perbuatan(fi’li).
3)
Musalsal dalam sifat periwayatan, terbagi
menjadi 3macam, yaitu musalsal dalam bentuk penyampaian periwayatan, pada waktu
periwayatan, dan pada tempat periwayatan.
c.
Hukum
hadis musalsal
Terkadang hadis terjadi musalsal dari
awal sampai akhir dan terkadang sebagian mualsal terputus dipermulaan atau
diakhir. Oleh karena itu, Al-Hafizh Al-Iraqi berkata: “sedikit sekali hadis
musalsal yang selamat dari kedha’ifan, dimaksudkan disini sifat musalsal bukan
pada asal matan karena sebagian matan shahih. Dengan demikian tidak seluruh
hadis musalsal shahih. Hukum musalsal adakalanya shahih, hasan dan dha’if,
tergantung para perawinya. Sebagaiman tinjauan pembagian hadis diatas, bahwa
musalsal adalah sifat sebagian sanad, maka tidak menunjukkan ke-shahihan suatu
hadis. Keshahihan hadis ditentukan lima persyaratan yakni persambungan sanad,
periwayat yang adil dan dhabit, tidak adanya syadzdz dan illah.
Diantara kelebihan musalsal, adalah
menunjukkan ke-muttahshilan dalam mendengar, tidak adanya tadlis dan inqhita,
dan nilai tambah kedhabitan para perawi. Hal ini dibuktikan dengan perhatian masing-masing
perawi dalam pengulangan menyebut keadaan atau sifat para perawi atau
periwayatan. .[7]
C.
HADIS
DITINJAU DARI SEGI KUANTITAS PERAWI
1)
Hadis
mutawatir
a.
Pengertian
Mutawatir menurut bahasa berarti
mutatabi, yakni sesuatu yang datang kemudian atau yang beriringan antara satu
dengan lainnya tanpa ada jaraknya. Secara istilah ada beberapa redaksi
pengertian mutawatir, yaitu sebagai berikut. Yang pertama, “Hadis yang
diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak yang mustahil menurut tradisi mereka
sepakat untuk berdusta dari sesama jumlah banyak dari awal sanad sampai akhir”.
Yang kedua, “Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak pula
yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat bohong”. Dan yang ketiga,
Habsy As-Siddiqie dalam bukunya ilmu
mustalah Al-Hadis mendefinisi-kan sebagai berikut:”Hadis yang
diriwayatkan berdasarkan pengamatan pancaindra orangorang banyak yang menurut
adat kebiasaan mustahil untuk berdusta”.[8]
Dari definisi diatas dapat dijelaskan
bahwa Hadis Mutawatir adalah berita hadis yang bersifat indrawi(didengar atau
dilihat) yang diriwayatkan oleh bnyak orang yang mencapai maksimal diseluruh
tingkatan sanad dan akal menghukumi mustahil menurut tradisi(adat) jumlah yang
maksimal itu berpijak untuk kebohongan. Berdasarkan definisi diatas ada 4
kriteria hadis Mutawatir, yaitu sebagai berikut.
1) Diriwayatkan
oleh sejumlah orang banyak.
2) Adanya
keseimbanganantar perawi pada thabaqat(tingkatan) pertama dengan berikutnya.
3) Mustahil
bersepakat bohong.
4) Sandaran
berita itu pada pancaindra.[9]
b.
Hukum
Mutawatir
Hadis mutawatir memberi faedah ilmu dharuri
atau yakin, dan wajib diamalkan. Artinya, suatu keharusan seseorang harus
meyakini kebenaran berita dari Nabi yang diriwayatkan secara mutawatir tanpa
ada keraguan sedikitpun sebagai mana seseorang menyaksikan sendiri suatu
peristiwa dengan mata kepalanya, maka ia mengetahuinya secara yakin.
c.
Macam-macam
Mutawatir
Sebagian
ulama membagi hadis mutawatir menjadi tiga macam, yaitu mutawatir lafzhi,
mutawatir ma’nawi, dan mutawatir ‘amali. Sebagian ulama lain seperti ushul
fiqih membaginya menjadi dua macam, yaitu mutawatir lafzhi dan mutawatir
ma’nawi.
Sebagaimana
perbedaan pembagian hadis dilihat dari segi kuantitas-jumlah periwayat,
perbedaan jumlah tidak menjadi persoalan, karena jumlah dapat dipersingkat
menjadi kecil dan dapat diperinci menjadi banyak, yang penting adalah
substansinya sama. Bagi yang menghitung dua macam maka mutawatir ‘amali
dimasukkan pada kedua macam diatas, karena ia melihat hadis mutawatir ‘amali
sudah berbentuk periwayatan yang tidak lepas dari dua bentuk tersebut.
1) Mutawatir
lafzhi, adalah hadis yang sesuai lafal para perawinya,
baik dengan menggunakan satu lafal atau lafal lain yang satu makna dan
menunjukkan kepada makna yang dimaksud secara tegas.
2) Mutawatir
ma’nawi, adalah hadis yang berbeda lafal dan
maknanya, tetapi kembali kepada satu makna yang umum(kesimpulannya sama).
3) Mutawatir
‘amali,
adalah perbuatan dan pengamalan syariah islamiyah yang dilakukan Nabi SAW
secara praktis dan terbuka kemudian disaksikan dan diikuti oleh para sahabat. [10]
2)
Hadis
Ahad
a.
Pengertian
Hadis atau khabar ahad berarti hadis
yang diriwayatkan oleh seorang perawi. Ahad dengan dipanjangkan bacaan a-had
mempunyai makna satuan. Nilai angka satuan tidak harus satu, tetapi dari satu
hingga sembilan. Menurut istilah, hadis ahad adalah, Hadis yang tidak memenuhi
beberapa persyaratan hadis mutawatir.
Perawi hadis Ahad tidak mencapai jumlah
banyak yang meyakinkan bahwa mereka tidak mungkin bersepakat bohong sebagaimana
dalam hadis mutawatir, ia hanya diriwayatkan satu,dua,tiga,empat, dan atau lima
yang tidak mencapai mutawatir. Hadis Ahad memberi faedah ilmu Nazhari, artinya
ilmu yang diperlukan penelitian dan pemeriksaan terlebih dahulu, apakah jumlah
perawi yang sedikit itu memiliki sifat-sifat dan kredibilitas yang dapat
dipetanggungjawabkan atau tidak.
Menurut jumhur ulama, hadis ahad wajib
diamalkan jika memenuhi seperangkat persyaratan maqbul. Semua ulama menerima
hadis ahad dan mengamalkannya, tidak ada yang menolak diantara mereka, kecuali
jika pada hadis tersebut terdapat kecacatan.
b.
Macam-macam
hadis Ahad
hadis
ahad terbagi menjadi tiga macam, sebagai berikut.:
1) Hadis masyhur,
diartikan tenar, terkenal, dan menampakkan. Dalam istilah hadis masyhur terbagi
menjadi dua macam, yaitu: masyhur Ishthilahi dan masyhur ghayr ishthilahi.
2)
Hadis
Aziz, diartikan langka, sedikit dan kuat. Karena sedikit
atau langka adanya, atau terkadang posisinya menjadi kuat ketika didatangkan
sanad lain. Dari segi istilah Hadis Aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh
dua orang perawi pada seluruh tingkatan sanad atau walaupun dalam satu
tingkatan sanad saja.
3)
Hadis
Gharib, adalah hadis yang hanya terdapat seorang perawidalam
satu tingkatan sanad, atau pada sebagian tingkatan sanad walaupun dalam salah
satu tingkatan saja, sedangkan pada tingkatan lain lebih dari satu orang. Hadis
gharib terbagi menjadi dua macam
yaitu hadis gharib mutlaq dan hadis gharib Nisbi.
Demikian hadis dilihat dari kuantitas
jumlah para perawi yang dapat menunjukkan kualitas bagi hadis mutawatir tanpa
memeriksa sifat-sifat para perawi secara individu, atau menunjuk kualitas hadis
ahad, jika disertai pemeriksaan memenuhi persyaratan standar hadis maqbul.
D.
HADIS
DITINJAU DARI KUALITASNYA
Hadis dilihat dari segi kualitasnya
terbagi menjadi dua macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud. Hadis maqbul
terbagi menjadi yaitu mutawatir dan ahad, yang shahih dan hasan. Sedangkan
hadis mardud ada satu yaitu hadis Dhaif.
1.
Hadis
maqbul
Dalam bahasa hadis maqbul artinya
diterima. Hadis ini dapat diterima karena sudah memenuhi beberapa kriteria
persyaratan, baik yang menyangkut sanad ataupun matan.
a.
Hadis
Shahih
1)
Pengertian
Kata shahih dalam bahasa diartikan orang
sehat, atau antonim dari kata as-saqim=orang sakit, jadi yang dimaksudkan hadis
shahih adalah hadis yang sehat dan benar, tidak terdapat kecacatan.[11]
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
hadis shahih mempunyai lima kriteria yaitu sebagai berikut:
a) Persambungan
sanad
b) Keadilan
para perawi
c) Para
perawi bersifat Dhabith
d) Tidak
terjadi kejanggalan
e) Tidak
terjadi ‘Illat
2)
Macam-macam
hadis shahih
Macam
hadis shahih ada dua macam, yaitusebagai berikut:
a) Shahih
lidzatih(shshih dengan sendirinya).
b) Shahih
lighayrih(shahih karena yang lain).
3)
Tingkatan shahih
Dari segi persyaratan shahih yang
terpenuhi dapat dibagi menjadi 7 tingkatan, dari tingkat tertinggi sampai
terendah yaitu sebagai berikut.:
a)
Mutaffaq ‘alayh.
b)
Diriwayatkan
oleh Bukhari saja.
c)
Diriwayatkan
oleh Muslim saja.
d) Hadis
yang diriwayatkan orang lain yang memenuhi persyaratan Bukhari dan Muslim.
e)
Hadis yang
diriwayatkan orang lain memenuhi syarat Bukhari saja.
f)
Hadis yang
diriwayatkan orang lain memenuhi syarat Muslim saja.
g)
Hadis yang
dinilai shahih menurut ulama hadis selain Bukhari dan Muslim. Dan tidak
mengikuti persyaratan keduanya. Seperti ibnu khuzaimah, ibnu Hibban, dan
lain-lain.[12]
a.
Hadis
Hasan
1)
Pengertian
Hadis Hasan adalah
hadis yang bersambung sanadnya, diriwayat-kan oleh orang adil, kurang sedikit
kedhabit-nya, tidak ada keganjilan, dan tidak ada illat. Kriteria hadis hasan
hampir sama dengan kriteria hadis shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi
ke-dhabit-annya. Hadis shahih ke-dhabit-annya harus sempurna, sedangkan hadis
hasan kurang sedikit kedhabitannya jika dibandingkan dengn hadis shahih.[13]
2) Syarat-syarat
hadis hasan
a) Sanadnya
bersambung
b) Perawinya
adil
c) Perawinya
dhabit, tetapi kedhbitannya dibawah kedhabitan perawi hadis hasan.
d) Tidak
terdapat kejanggalan
e) Tidak
ada illat.
3) Macam-macam
hadis hasan
Para ulama membagi hadis hasan menjadi
dua bagian, yaitu Hasan Lidzatih dan Hasan Lighairih. Yang dimaksud dengan
hadis hasan lidzatih ialah hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis hasan
sebagaimana telah diuraikan diatas. Adapun yang dimaksud dengan hadis hasan
lighairi adalah hadis hasan yang tidak memenuhi persyaratan hadis hasan secara
sempurna atau pada dasarnya hadis tersebut hadis dhaif, tetapi karena ada sanad
atau matan lain yang menguatkannya, maka kedudukan hadis dhaif tersebut naik
derajatnya menjadi hasan lighairi.
2.
Hadis
Mardud
Mardud dalam bahasa lawan dari maqbul,
yaitu ditolak atau tidak diterima. Penolakan hadis ini dikarenakan tidak
memenuhi beberapa kriteria persyaratan para ulama. Hadis mardud tidak dapat
dijadikan hujah dan tidak dapat diamalkan. Secara umum hadis mardud adalah
hadis dhaif(lemah) dengan segala macamnya.
a. Pengertian
hadis dhaif
Hadis dhaif adalah hadis yang tidak
memenuhi sebagian atau semua persyaratan hadis hasan atau shahih, misalnya
sanadnya tidak bersambung, para perawinya tidak adil dan tidak dhabit,terjadi
keganjilan, dan terjadi cacat.
b. Hukum
periwayatan hadis dhaif
Hadis
dhaif tidak identik dengan hadis mawdhu(hadis palsu). Diantara hadis dhaif
terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya
hafalan yang kurang kuat, tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadis mawdhu
perawinya pendusta. Maka para ulama membolehkan meriwayatkan hadis dhaif,
dengan dua syarat, yaitu:
1) Tidak
berkaitan dengan akidah sepeti sifat-sifat Allah
2) Tidak
menjelaskan hukum syara, yang berkaitan dengan halam dan haram.
c. Pengamalan
hadis dhaif
1) Hadis
dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak.
2) Hadis
dhaif dapat diamalkan secara mutlak.
3) Hadis
dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal jika tidak terlalu buruk
kedhaifannya. [14]
E. Kesimpulan
Pembagian hadis dari bentuknya terbagi
menjadi lima, yaitu hadis qauli, fi’li, taqriri, hammi, dan ahwali. Jika
dilihat dari sifat sanadnya , hadis terbagi menjadi empat, yaitu Hadis
Mu’an’an, hadis Muannan, Musalsal, dan Ali dan Nazil. Ditinjau dari
kuantitasnya hadis terbagi menjadi dua, yaitu hadis mutawatir dan hadis Ahad.
Dan ditinjau dari kualitasnya hadis dibagi menjadi dua,hadis maqbul(hadis
shahih & Hasan), dan Hadis mardud(hadis Dhaif).
F. Saran
Dengan disusunnya makalah ulumul
hadis tentang pembagian hadis ini, penulis mengharapkan pembaca dapat
mengetahui kajian ulumul hadis.Untuk mengetahui lebuh jauh, lebih banyak, dan
lebih lengkap tentang pembahasan ulumul hadis pembaca dapat membaca dan
mempelajari buku-buku dari berbagai pengarang, karena penulis hanya membahas
garis besar saja tentang ulumul hadis dan hanya membahas lebih dalam tentang
pembagian hadis.Disini penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini
masih jauh dari sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun untuk
penulisan makalah-makalah selanjutnya sangat diharapkan.
Daftar Pustaka
1. Al-Qur’an
2. Al-Hadis
3. Khon
majid, Abdul. 2007. Ulumul hadis. Jakarta. Amzah.
4. Mudasir,
H. 1999. Ilmu Hadis. Bandung. CV. Pustaka setia.
5. Suparta,
munzier. 2001. Ilmu Hadis. Jakarta. Rajawali pers.
6. Candra,
dkk. 2002. HADITS. Bukit tinggi. Pustekom MAN 2 bukit tinggi.
[1]
Suparta, munzier. Ilmu hadis: 2001: hal:18-21
[2]Suparta,
munzier. ibid: hal:18-21
[3]
Ibid,hal:22
[4]
Candra, dkk. Hadits. 2002. Hlm:86
[5]
Majid Khon, Abdul: ulumul hadis: 2007, hlm: 266
[6]
Ibid, 269
[7]
Ibid,278
[8]
Mudasir, Ilmu Hadis, 1999,hlm: 113-114
[9]
Ibid, hlm:148
[10]
Majid khon. Ibid. Hlm, 150-154
[11]
Suparta, munzier, ibid, hlm126
[12]
Mudasir, ibid, hlm:154
[13]
Majid khon, abdul:ibid:hlm.178
[14]
Majid khon, abdul, ibid, 184-186
ConversionConversion EmoticonEmoticon